Bab 1

54 5 0
                                    

Aku duduk di kursi makan, menunggui Om Ari yang tengah memindahkan makanan dari rantang milik mama ke beberapa piring yang ada di depannya.

Mama ku punya usaha catering kecil-kecilan. Kalau sedang ada lebih makanan, mama biasanya menyuruh ku membagikan ke beberapa tetangga sekitar rumah termasuk rumah sahabatku ini. Yang punya hajat biasanya sudah tidak mau lagi mengambil sisa stok makanan dari gedung. Jadi anggap saja itu menjadi rezeki petugas bersih-bersih gedung, security dan tetanggaku pastinya.

“Terima kasih ya Ra,” Tutur Om Ari sambil menyerahkan rantang berbahan pelastik.

“Oh ya Om, Bagam masih ikut Turnamen ya?”

“Ada tuh di kamarnya.”

Perkataan Om Ari tadi langsung membuatku menoleh ke arah pintu kamar Bagam yang terletak tak jauh dari tempatku duduk. Sudah hampir sebulanan ini aku tidak bertemu dengannya Karena sedang mengikuti turnamen besar.

“Kamu masuk saja.” Seru Om Ari.

Aku pun mengangguk dan langsung membuka pintu kamar sahabatku itu tanpa permisi terlebih dahulu pada sang empunya kamar.

Ia menampakkan ekspresi kaget saat aku muncul dari balik pintu. Aku refleks membalik badan seraya menutup kembali pintu dihadapanku. Aku sibuk komat kamit mengutuki diri mengapa bisa selancang itu. Untung saja Bagam masih handukan, coba kalau misal dia tidak menggunakan sehelai benangpun. Bisa di bayangkan bagaimana malunya dia dan bagaimana tengsinnya aku.

5 menit kemudian pintupun kembali dibuka dengan Bagam yang telah berpakaian lengkap. Aku masuk tanpa mengungkit kejadian memalukan beberapa menit yang lalu. Seolah tak pernah ada kejadian apapun, aku melenggang dengan santainya.

Dialah Bagam sahabatku. Pemain catur Profesional, Jago main piano dan pintar matematika. Dia super pemalu, lugu, polos dan anak rumahan. Waktunya di habiskan dengan baca buku, latihan catur, main piano dan tidur. Sedari SMP dia sudah menjadi pemain catur profesional hingga absen kehadiran di sekolah harus banyak yang bolong karena ketidak hadirannya di kelas entah karena latihan, sedang ada tanding atau keluar kota karena turnament tingkat nasional atau internasional.

Orang tuanya berpisah, lalu Bagam yang waktu itu baru saja tamat Sekolah Dasar pindah ke tempat ini. Membeli sebuah rumah besar yang sudah lama kosong yang letaknya tepat di depan rumahku dan sejak saat itulah, awal persahabatan kami.

“Gimana turnamennya? Menang gak?” Tanyaku sebelum mendaratkan bokong di kasur Bagam yang empuk.

Dia hanya menunjuk kearah meja belajarnya sembari meletakkan handuk basah dekat jendela setelah di pakainya mengeringkan rambut yang masih basah. 

Sebuah piala dengan tinggi kurang lebih setengah meter, berdiri dengan gagahnya disana. Senyumku mengembang seketika. Sahabatku ini memang terbaik. Entah sudah berapa banyak piala yang dimilikinya, di ruang tamu sana rasanya sudah penuh sesak dengan pialanya, belum lagi piala yang di pajang di kamar ini rasa-rasanya atap lemarinya sudah tidak muat lagi hingga harus segera diungsikan kebagian lain rumah ini.

“Yuk?” ujarnya sambil menyemprotkan parfum ke tubuhnya.

“Mau ke mana?”

“Ingat gak kemarin aku sudah janji, kalau menang kamu mau aku traktir coklat."

Aku mengangguk dan bangkit. Siapa yang tidak senang di traktir coklat.

Ku pulangkan dulu rantang milik mama, tak lupa mengambil ponsel baruku hasil bantu-bantu Mama setahun ini di usaha cateringnya.

“Kak kinara, aku pinjam motor bentar ya?” teriakku di depan kamar kak Kinara sambil meraih kuncinya yang tergantung di ujung tangkai gorden.

"Kewarung depan, mau di beliin cokelat sama Bagam,"

Jejak RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang