Bab 7

3 1 0
                                    

Banyak betul air matamu. Sudah sebulan ini kerjaanmu hanya menangis. Kamu harus move on. Doakan saja yang terbaik untuk Bagam,"

Aku menyeka air mataku. Sebulan sudah Bagam pergi tanpa pamit setelah pertengkaran yang kembali pecah dengan ayahnya. Sudah sebulan ini pula, tak ada kabar tentang keberadaannya sebab ayahnya juga ikutan pergi keesokan harinya.

Aku khawatir dia tidak akan kembali lagi kesini setelah sore tadi kulihat petugas memasang plank lelang di depan rumahnya. Aku yakin dia sedang tidak baik-baik saja sekarang dan akupun demikian. Ada hampa yang kurasa setelah dia pergi.

"Aku punya tips biar kamu gak galau lagi."
Kak Kinara lalu mengangkat kursi pelastiknya lalu duduk dihadapanku.

"Apa?"

"Kehilanganmu itu harus tergantikan. Cobalah cari sahabat baru yang bisa sedekat dia."

"Tapi masalahnya dia bukan hanya sahabatku."

"Maksud kamu? O, jangan bilang kamu suka sama Bagam?"

Kak Kinara menatapku penuh selidik. Tatapannya seolah memberi intimidasi agar aku buka suara tentang ini.
Aku mengangguk. Kak kinara terheran-heran.
"Lalu bagaimana sekarang?"

Air mataku kembali pecah. Kak kinara memelukku.

"Tidak ada lain, kamu harus berdamai dengan perasaanmu dan keadaan sekarang. Ada kemungkinan dia akan kembali, namun ada pula kemungkinan tidak tidak akan kembali lagi. Meski dia kembalipun, apa dia akan memiliki perasaan yang sama denganmu?"

Ucapan Kak Kinara semakin mematahkan hatiku, tapi ada benarnya juga. Untuk sekarang, cukup berdamai saja dengan perasaan dan keadaan. Setelahnya, biar ku fikir lagi nanti.

"Oh ya Kak cowok yang suka nurunin kakak di depan kedai Baba Ong, pacar kakak?" Tanyaku sambil terlepas dari pelukanya.

Kakak mengerutkan dahi.

"Kamu memata-mataiku ya?"

"Dikit," balasku setengah bercanda.

Kakak mengeluarkan ponselnya. Menunjukkan foto seorang pria dari sana.

"Umurnya brapa? Kelihatan dewasa banget ya kak?"

"Kami memang terpaut usia 10 tahunanlah."

"Gak ketuaan?"

"Enggaklah, mature. 32 tahun belum tua-tua bangetlah."

"Anak kantoran ya?" Tanyaku lagi.

Kakak mengangguk.

"Manager di salah satu perusahaan export import,"

"Waw, keren."

Kakak lalu pamit keluar kamar. Ponselnya berdering dan itu dari Bapak manager.

Akhirnya Kak Kinara menemukan kebahagiaannya, tinggal aku yang sekalinya jatuh cinta untuk yang pertama kalinya tapi langsung patah hati sekaligus disaat yang bersamaan.

Pintuku berderit lagi. Aku masih lanjut mengemasi barang bawaan untuk mendaki besok. Paling Kak Kinara lagi.

"Gimana persiapannya buat besok," kata mama sambil berjalan kearahku.

"Aman ma, ini tinggal dimasuk-masukin aja ke karier."

"Gimana soal kuliahmu?"

Aku menghela nafas sepenuh dada mendengar pertanyaan mama.

"Pokoknya Mama tidak mau tahu, sepulang dari mendaki kamu sudah harus daftar." Jelas Mama dengan mimik yang serius.

"Iya Ma." Singkatku.

Mama duduk di sebelahku, lalu menyodorkan sebuah amplop untukku. 

"Ini untuk daftar kuliah, uang pangkal dan keperluan kuliahmu nanti."

Aku menatap mama.

"Kamu harus kuliah Nak. Kamu tidak boleh jadi orang bodoh seperti Mama."

Aku hanya terdiam mendengar ucapan Mama, aku tidak mampu menyanggah sedikit pun mendengar permintaan Mama tersebut.

"Kamu harus jadi perempuan yang pandai, perempuan yang bisa menjaga diri dan bermartabat. Jangan seperti mama."

"Ada apa dengan mama? Mama wanita hebat. Mama tidak kalah dengan wanita berpendidikan di luar sana," pujiku sambil merangkul pundak mama.

Mama tersenyum lalu membelai rambutku.

"Mama sangat ingin melihat anak-anak mama menjadi sarjana. Itu saja permintaan dari wanita tua yang hanya bisa mengenyam pindidikan sampai sekolah dasar saja. Menyekolahkan kalian adalah keinginan terbesar buat mama, jadi harap bersabar sedikit lagi. Kuliahlah nak, setelahnya terserah kamu."

Aku memeluk mama. Tak ada lain yang bisa kulakukan sekarang selain mengabulkan permintaan mama ini.

Jika Kak Kinara bisa memperoleh beasiswa untuk biaya kuliahnya. Maka aku akan bekerja sambil kuliah nantinya untuk biaya kuliahku.

Entah, aku merasa sudah cukup membebani mama hingga usia sekarang. Meski kata mama, sudah menjadi kewajibannya sebagai orang tua. Tapi tetap saja, aku merasa berat. Padahal mama orang tuaku sendiri.

"Oh ya. Mama ada obat demam gak?" Kataku sambil melepas pelukan.

"Ada, di laci lemari."

"Aku ambil ya ma, buat jaga-jaga saat mendaki."

Aku beranjak ke kamar mama. Mengambil obat lalu kembali ke kamarku, namun sebuah amplop dengan kop warna hijau khas logo sebuah perusahaan gadai menarik perhatianku. Ada sebuah nota gadai beberapa perhiasan dalamnya.

Deggg. Jangan-jangan uang yang tadi?

Air mataku menitik. Mama menggadaikan emasnya lagi setelah baru di tebusnya beberapa bulan yang lalu. Kasihan Mama, emas yang dimilikinya hanya sekedar numpang lewat saja. Jika sedang butuh modal atau sedang ada keperluan mendesak, perhiasan kesayangannya itu harus di gadai. Entah suatu hari, apakah perhiasan itu akan kembali jadi miliknya lagi atau akan terlelang karena tidak bisa menebus.

Hidup yang kami jalani memang tidak mudah, tapi Mama membuktikan bahwa kami bisa bertahan tanpa bantuan siapa pun. Kami harus mandiri tanpa meminta bantuan pada siapa pun. Mama mendidik kami untuk menjadi tangguh tapi tetap penuh kasih sayang. Sepeninggal Papa, dengan sendirinya kami harus berdiri diatas kaki kami sendiri. Kami harus kuat dan berani meski sesungguhnya kami lemah. Kami harus saling menyokong satu sama lain.
Yang jelas aku bangga memiliki mama. Mama yang pantang menyerah, Mama yang kuat dan Mama yang selalu menguatkan kami saat merasa beban hidup begitu menghimpit.





Jejak RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang