Bab 14

4 1 0
                                    

Hari ini seusai jam kuliah. Kak Woki sudah menungguku di depan kelas. Kami lalu bersama-sama ke kantin untuk semangkok bakso yang ku minta semalam sebagai upah jadi model lukisan Kak Woki. Beberapa pasang mata tengah menjadikan kita pusat perhatian mereka. ya aku sadar penuh. fenomena junior yang cari perhatian ke seniornya itu memang ada. dan aku yakin, pasti salah satu dari mereka sedang berfikir bahkan akulah junior yang di maksud itu.

terserah mereka saja. Aku tidak peduli. Aku adalah manusia si paling bodoh amat. Aku menikmati hidup tanpa takut dengan penilaian orang lain. Karena yang menganggapku buruk belum tentu dia lebih juga kan?
Setelah makan, Kak Woki mengajakku ke rumahnya. Sudah ku tolak, berhubung hari ini sudah ada janji dengan Jifal dan Dito untuk membuat surprise ulang tahun untuk Nandar tapi Kak Woki memohon sebentar saja untuk membuat satu lukisan lagi dengan kembali menjadikanku satu model untuk di jadikan sampul novel katanya deadline malam ini. Aku menurut saja dengan syarat harus selesai dalam 1 jam kedepan. Kak Woki mengiyakan.

"Ngelukisnya di atas ya, di kamarku," jelas Kak Woki.
Aku menatap peuh selidik.

"Tidak usah takut nona. Aku tidak akan berbuat jahat," tuturnya sambil naik kelantai 2.

Aku menyusul setelahnya. Ada semacam galeri lukisan tepat di depan sebuah kamar yang pintunya terbuka. Kesemua lukisannya adalah perempuan namun tak jelas rupanya. Kebanyakan sketsa, berbentuk siluet atau lukisan abstrak yanng susah ku terjemahka maksudnya.

Dia mempersilahkanku duduk di sofa yang muat untuk duduk 3 orang. Dia menyuruhku duduk berselonjor kaki sambil memegangi sebuah kertas di tanganku. Pura-puranya sedang membaca mungkin.

Kak woki memberiku sebotol air mineral sebelum dia mulai duduk di kursinya dengan kanvas di depannya lalu diapun mulai memainkan kuasnya.

Dia terlihat serius. Begitu fokus dengan papan kanvas di depannya sambil sesekali melihat kearahku lalu kembali memainkan kuasnya.

Ponselku berdering. Kak Woki beranjak ke tepi kasur, meraih ponselku dan memperlihatkan layarnya padaku. Jifal.

"Aku angkat dulu kak, tidak apa kan?"

Dia mengangguk seraya melangkah kearahku.

"Halo Fal,"

"Aku dan Dito sudah di depan kampus kamu."

"Em aku,"

"Masih ada kuliah?" Tebak Jifal.

"Bukan."

"Lantas?"

"Aku ... aku di rumah seniorku," jawabku terbata.

"Bukannya kamu tidak ada kelas fiksi kan hari ini?"

"Iya. Em, Fal. Ini bentar lagi kelar. Kirim alamatnya kita kumpul di mana, abis ini aku susul."

"Terserah kamu saja," jawab Jifal pasrah.

"Sudah?" Tanya Kak Woki.

"Iya."

Kak Woki pun kembali duduk di kursinya saat aku kembali merapikan posisiku.

Rasa kantuk seketika menyerangku. Entah karena kamar Kak Woki yang adem ini atau karena semalam aku begadang sampai hampir subuh karena mengerjakan pesanan souvenir pernikahan yang harus diantar pagi tadi sebelum ke kampus.

"Tidur saja, lukisannya tinggal di perhalus sedikit lagi," ucap Kak yang memergokiku menguap.

"Tidak usah Kak, aku buru-buru."

"Oke 5 menit lagi ya."

Aku menyandarkan kepalaku di sofa, mencari posisi yang nyaman sembari menunggu Kak Woki merampungkan lukisannya.

Jejak RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang