Aku langsung masuk setelah mengetuk beberapa kali mengetuk pintu rumah Bagam dan meneriakkan namanya beberapa kali juga.
"Gam, kamu ada didalam gak?" Kataku didepan pintu kamarnya.
Tak ada jawaban sedikitpun hingga kuputuskan membuka pintu kamarnya untuk memastikan.
Kemunculanku membuat kaget Bagam, begitupun dengan ku. Kami mematung beberapa saat tanpa sanggup berkata-kata, rokok di tangan Bagam yang membuatku terkejut. Mengapa tidak, ini kali pertama aku menyaksikan pemandangan yang kurang mengenakkan hati ini.
Bagam melepas head setnya lalu melempar benda kecil yang masih mengeluarkan asap putih di tangannya keluar jendela.
“Ra," sapanya sambil menghampiriku.
“Sejak kapan ngerokok?”
"Eh kamu bawa apa?" Bagam mencoba mengalihkan agar bisa lolos dari pertanyaanku.
"Gam jawab" cecar ku.
"Wah, enak banget. Makan bareng yuk?"
Dia lalu meletakkan rantang tersebut diatas meja belajar, menyusun 2 buah kursi lalu menarikku medekat meja tersebut.
"Gam,"
Dia masih sibuk menyajikan makanan.
"Sudah lama Gam?"
Dia masih tak mempedulikanku bahkan tidak menatapku sedikitpun. Aku mulai kesal dengan tingkah Bagam yang tidak menjawab satupun pertanyaanku. Baru kali ini sepanjang persahabatan kami, dia semenjengkelkan ini.
"Baik Gam. Aku kira kita sahabatan baik selama ini hingga tidak ada batasan rahasia lagi antara kita. Tapi ternyata aku salah."
"Bukan begitu Ra,"
Suara mobil Om Ari yang masuk ke garasi membuat Bagam menghentikan ucapannya. Aku pun angkat kaki tanpa berkata banyak lagi kepada Bagam untuk mengakhiri suasana yang tidak mengenakkan ini.
" Malam om," sapaku saat berpapasan dengan Om Ari di pintu depan.
"Oh ada Kiera?"
"Iya Om, abis nganterin makan malam buat Bagam."
"Terima kasih ya."
Aku membalas dengan senyum lalu beranjak.
***
Semalaman aku tidak bisa tidur, ada banyak tanya di benakku tentang Bagam. Aku merasa reaksiku semalam terlalu berlebihan. Bagam bukan satu-satunya perokok yang aku kenal. Nandar teman Sispalaku juga perokok bahkan tak jarang dia suka merokok di dekatku tapi reaksiku biasa saja, tidak seberlebihan Bagam semalam.
Tapi memang Nandar dan Bagam punya porsi yang beda. Nandar hanya teman biasaku saja hingga apapun yang di lakukannya aku anggap biasa juga, tapi tidak dengan Bagam. Dia punya tempat yang lebih spesial hingga aku tak mau sesuatu yang buruk di lakukannya dan tak mau sesuatu yang buruk terjadi padanya karena efek dari rokok tadi.Pasti ada alasan kenapa dia sampai berbuat seperti itu, mestinya sebagai sahabat aku harus lebih memahami dirinya dan lebih bisa berbicara dari hati ke hati bukan malah memberi punishman seperti semalam. Seolah setiap orang diciptakan tanpa masalah.
Kulangkahkan lagi kaki ke rumah Bagam dengan modus membawakan beberapa potong roti isi buatan mama untuk sarapan, sekalian mau mengambil rantang yang semalam biar tidak terlalu nampak kalau aku kesana dengan maksud ingin mencari tahu kondisi Bagam terkini seperti apa. Aku janji tidak akan mengungkit soal semalam, anggap saja pagi ini tiba-tiba aku amnesia.
Tiba-tiba langkahku terhenti tepat di depan pintu rumah Bagam. Suara Om Ari menggema sampai keluar. Nadanya emosi, sesekali ku dengar Bagam menimpali. Entah apa yang sedang aku fikirkan hingga aku memilih tetap mematung di balik pintu dan khusuk mendengarkan percakapan mereka berdua.
"Apa ini? Laporan performa dengan hasil sangat buruk. Pihak sponsor mulai meragukan kemampuanmu di club' catur. Ini semua karena kekalahanmu di turnamen kemarin."
Jantungku berdegup kencang mendengar ucapan Om Ari. Kali ini aku bukan lagi menguping tapi aku juga menggunakan Indra penglihatanku dengan menguntit dari balik lubang kunci yang ukurannya hanya beberapa inci saja. Bagam terlihat menunduk berdiri lemas di hadapan Om Ari yang menatapnya dengan tatapan yang penuh kemarahan.
"Mulai besok kamu akan Ayah masukkan ke asrama club."
Bagam mengangkat wajahnya, menatap ayahnya dengan tatapan yang penuh emosi pula."Cukup ayah, Bagam sudah lelah menuruti semua ambisi ayah. Baru sekali ini saja aku kalah dan aku rasa, apa yang aku hasilkan selama ini sudah cukup. Bagam juga mimpi yang ingin di wujudkan, Bagam akan berhenti dan mulai mengejar mimpi Bagam itu."
Praakkk, sebuah tamparan mendarat keras di pipi Bagam. Seluruh badanku gemetar. Entah harus berbuat apa dan harus harus bereaksi apa.
Bagam melangkah maju.
"Tampar lagi yah, tampar lagi sampai ayah puas," pekik Bagam dengan jarak wajah hanya beberapa centi dari wajah ayahnya.
Om Ari mengayunkan tangannya dan kembali mendaratkan tangannya ke pipi bagam yang satunya lagi hingga bagam terpelanting jatuh kesamping.
Air mataku mulai berderai, hidung Bagam mengeluarkan darah. Tak tega hati melihat Bagam namun apa yang harus kulakukan?
Aku segera berlari keluar saat ku lihat Bagam bangkit dan beranjak meninggalkan Om Ari sambil memegangi pipinya.
Tak lama kemudian mobil tipe sedan berwarna hitam metalik keluar dari garasi dan melaju kencang. Aku mematung di balik pagarku saat melihat Bagam yang berada di balik kemudinya.
Aku berlari kekamar dan meraih ponselku. Menekan tombol dial saat kutemukan nama Bagam di riwayat panggilan sebelumnya. Ponselnya tidak aktif, aku mulai khawatir dengannya. Apalagi ia menyetir dalam keadaan yang tidak baik. Harusnya aku mencegatnya selagi bisa. Harusnya aku ikut dalam mobil itu. Sahabat macam apa aku ini? Yang hanya diam mematung dan tidak berbuat apa-apa. Tak peduli situasinya, harusnya tadi aku masuk dan membela sahabatku itu. Bodohnya aku ini.
Aku menyeka air mataku. Bagam pandai bermain peran rupanya. Ku kira selama ini ia baik-baik saja. Manusia berbakat yang polos dan lugu ternyata menyimpan tekanan yang ada pada dirinya rapat tanpa berbagi cerita sedikitpun padaku.
Jika saja aku tidak menguntit dan menguping pembicaraan mereka. Mungkin sampai saat ini aku akan mengira Bagam adalah sosok yang berprestasi yang selalu lempeng menjalani hidup tanpa masalah dan kesulitan yang berarti.
"Ra, kok rotinya di balikin lagi."Aku membuka pintu kamarku dan melihat Kak Kinara sedang bersiap siap untuk pergi.
"Gak ada yang bukain pintu kak." Tuturku mengarang cerita.
"Masih pada tidur mungkin?"
" Bisa jadi."
" Bilang ke mama ya, Kakak pulangnya agak malam."
"Mau ke mana sih kak?"
"Mau tahu aja, udah ya aku berangkat ya." Pungkas Kak Kinara sambil berlalu pergi.
Fikiranku masih tertuju pada Bagam. Aku baru tersadar satu hal, sekian tahun sahabatan. Bagam memang jarang menceritakan tentang dirinya, perasaan serta keinginannya. Kami hanya sering membahas hal-hal yang umum saja atau tentang curhatan hatiku saja. Bisa dibilang aku gagal menjadi sahabat, aku gagal mendapat kepercayaannya serta gagal meyakinkannya kalau aku adalah orang yang tepat untuk bisa diajak sharing.
Bagam, dimana kamu sekarang. Aku benar-benar khawatir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak Rasa
RomanceJika kisah kita memiliki tombol CTRL-Z. Akan ku cari dan kubeli. Mengapa harus ada penyesalan sedang aku membuat keputusan itu dengan sangat matang. Mengapa perasaan itu harus tumbuh di saat yang tidak tepat. Saat ku rasa baik- baik saja tanpamu tap...