Bab 11

4 2 0
                                    

Terima kasih kak," kataku sebelum menutup pintu mobil Kak woki. Senior 2 tahun diatasku.

Kami sering bersama akhir-akhir ini karena aku sedang mengikuti kelas kepenulisan yang diadakan diluar jadwal kuliah dan Kak Woki menjadi mentornya.

"Jangan panggil Kak dong,"

"Lalu?" Tanyaku.

"Panggil aku sayang," jawabnya sambil tersenyum.
Aku terdiam beberapa saat, mencoba mencerna kata-kata barusan.

Sektika Kak woki tertawa dan aku masih terheran-heran.

"Ekspresinya kok gitu amat," katanya sambil memegangi perutnya. Sedang mencoba menahan tawanya.

Aku masih saja memasang tampang melongo. Masih tidak mengerti dengan apa hal yang membuat Kak Woki terpungkal-pingkal.

"Ok, maaf-maaf. Rumahmu di sebelah mana?" Tanyanya setelah puas terpingkal.

"Di depan sana kak, setelah pertigaan," kataku sambil menunjuk jalan di depan perapatan ojek.

"Oh, ya sudah aku balik ya,"

Mobilnya melaju dan akupun masuk ke toko Baba ong. Membeli pembalut dan minuman jamu kemasan yang biasa kuminum saat nyeri haid melanda.

Kak Woki tergolong, mahasiswa paling di bicarakan sekarang ini di kampus. Bagaimana tidak? Buku keempat yang diterbitkannya menjadi buku best seller tahun ini dan namanya sudah bisa di sejajarkan dengan penulis-penulis beken tanah air lainnya. Dia bahkan di sebut-sebut penggebrak aliran baru kepenulisan yang berani berekspresi dalam setiap karyanya yang memiliki ciri khusus dengan menggunakan beberapa diksi yang di ramu dengan kata-kata kekinian yang membentuk prosa indah.

"Eh, Kiara. Baru pulang kuliah?" Tanya Baba Ong.

"Iya Baba, ada kegiatan tambahan tadi."

"Tadi sore, ada ribut-ribut di rumahmu. Cepatlah pulang,"

"Ribut-ribut kenapa Baba?"

"Sana pulang cepat."

akupun mengambil langkah seribu. Meninggalkan toko Baba Ong dan langsung pulang seperti instruksi Baba.
Aku berlari menuju ke dalam rumah tempat asal suara mama terdengar dengan sangat emosi. Kak Kinara duduk bersimpuh dilantai sambil memegangi pipi kanannya yang terlihat memerah.

Kak Kinara mengangkat wajahnya saat aku datang. Mantapku dengan penuh kemarahan. Pipinya sembab dengan air mata yang masih menjejak di pipinya.

"Ada apa sih Ma?" Tanyaku mengambil posisi antara keduanya.

"Tanya Kakakmu? Ternyata anak yang Mama bangga-banggakan selama ini tidak lebih rendah dari sampah." Hardik Mama sambil menunjuki Wajah Kak Kinara.

Mama terlihat begitu menyeramkan dengan wajah garangnya. Kali pertama aku melihat kemarahannya yang sedahsyat ini sampai badannya bergetar saat mengeluarkan kata-kata kasar yang tidak pernah ku dengarkan sebelumnya.

"Putuskan hubungan kamu dengannya dan mulai besok kamu tidak usah ke kampus lagi."

Aku kaget seketika, ternyata mama sudah mengetahui semua. Kakak kembali menatapku. Dari tatapan tajamnya. Ku tahu kakak pasti sedang menuduhku.

Aku menggeleng ke arah kakak.

Kini giliran mama yang menatap ke arahku.

"Jadi kamu pun sudah tahu?"

Aku mengangguk lalu tertunduk lesu.

"Istri pria itu datang sore tadi. Dia marah, dia memaki dengan menyebut mama orang tua yang tidak bisa mendidik anak dengan baik. Dia histeris dan mengamuk sampai orang-orang ramai berdatangan. Bayangkan betapa malunya aku."

Mama terlihat lunglai kali ini dan menyandarkan tubuhnya di dinding belakangnya. Seolah pasrah dan putus asa dengan apa yang terjadi. Pandangannya lalu menerawang ke langit-langit rumah.

"Mengapa sejarah kelam itu harus terjadi lagi."

Suara Mama terdengar serak karena tangisan yang tertahan.

"Kenapa selama ini Mama mati-matian ingin kalian kuliah, jadi anak pintar dan sukses,"

Ucapan Mama terjeda karena harus menghapus air matanya yang mulai membasahi pipinya

"Cuma satu. Agar kalian tidak bernasib sama seperti Mama. Dari kecil Mama mengajarkan kalian agar tidak mengambil apapun yang bukan hak kalian tapi mengapa malah itu yang terjadi. Kalian fikir mudah membesarkan kalian seorang diri. Segalanya mama upayakan. Semua agar kalian tidak bernasib sama seperti Mama, menjadi orang ketiga dan menjadi duri dari kebahagiaan orang lain."

Tangisku pecah. Takk mampu berkata-kata dengan pengakuan Mama barusan. Rahasia yang disimpannya rapih hingga tiba waktu hal itu terungkap juga.

Papa meninggal saat usiaku baru genap setahun dan kakak berusia 3 tahun. Setelahnya mama berjuang sendiri membesarkan kami dan hanya sebatas itu yang kami ketahui, tidak lebih.

"Perebut suami orang, masih terus melekat pada diri Mama bahkan sampai ayahmu telah tiada, cap itu masih belum hilang. Ini juga alasan mengapa Mama hidup terasing dari keluarga. Ini semua karena kebodohan mama. Bahkan saat orang tua Mama meninggal, Mama tidak diperkenankan untuk datang karena mama yang tak lagi dianggap ada dalam keluarga dan dengan ini kamu telah membuktikan, darah perebut itu mengalir di darahmu."

Mama beranjak ke kamarnya setelah mengakhiri ucapannya. Sedang Kak Kinara hanya terdiam dan mematung dengan air mata yang berderai.

Aku meninggalkan nya sendiri, aku rasa Kak Kinara sudah cukup dewasa untuk menyikapi bijak masalah ini.

Aku membuka pintu kamar Mama perlahan, Mama duduk di ujung ranjangnya. Aku peluk Mama erat. Wanita setengah baya yang sudah bersusah payah demi membesarkan kami. Wanita yang menyimpan rapat lukanya sendiri dan memilih menjalani hidup dengan cap negatif yang terus melekat. Dia tak tumbang karena cacian dan tak pula tinggi hati karena telah memenangkan hati Papa. Malah hidupnya berkalang penyesalan karena telah menjadi duri.

Kini giliran aku yang sesegukan. Aku janji tidak akan membuat Mama bersedih lagi. Sudah cukup penderitaan yang di tanggung ya selama ini, aku janji akan menuruti semua perkataan Mama. Aku yang akan membuat mama bangga nanti.

Jejak RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang