Setelah kelas kepenulisan selesai seminggu yang lalu. Aku kembali bergabung dalam kelas fiksi yang kembali di mentori Kak Woki. Seniorku. Kelas ini harus ya berbayar, tapi tidak denganku. Kak Woki menggratiskan khusus buatku saja. Entah apa yang menjadi pertimbangannya, mungkin random saja ataukah ada penilaian khusus. Tapi yang namanya gratisan, siapa yang tidak tergiur. Apa lagi melihat ini kelas yang memang penting untuk anak sastra sepertiku dan bukan itu saja, bagi orang yang bercita-cita menjadi penulis sepergi Kak Woki ini kelas yang memang sangat diperlukan. Hingga setelah perkuliahan usai, aku kembali sibuk dengan urusan ini.
"Kiera boleh bantu aku," kata kak Woki.
"Iya Kak, apa itu?"
"Kami duluan ya," kata salah seorang temanku, mewakili 3 lainnya sebelum benar-benar beranjak meninggalkan rumah Kak woki.
Beberapa menit kemudian, tinggallah hanya kami berdua di rumah yang seluas ini. Kak Woki hanya tinggal sendiri saja. Orang tuanya tinggal diluar kota. Karena Kak Woki berkuliah disini hingga di belilah rumah ini untuk ditinggalinya sendiri.
"Tidak buru-buru pulang kan? Baru jam 9 malam juga," jelas Kak Woki sambil melirik jam tangannya.
Aku mengangguk. Agak ragu sebenarnya takut kalau dia minta yang aneh-aneh.
"Aku menulis sebuah puisi semalam. Tapi aku ingin membuat visualnya dalam bentuk lukisan."
"Kakak bisa ngelukis juga?"
Dia mengangguk.
"Boleh aku minta tolong kamu untuk menjadi model lukisanku?"
Aku tersenyum kecut. Bingung harus berbuat apa?
"Bisa?"
Aku mengangguk. Lebih tepatnya merasa terjebak. Menolak salah, di iyakan pun rasanya tidak nyaman.
Kak Woki menyeret kursi jati dengan ukiran klasik di sisi atasnya kedekat taman belakang. Tempat yang akan menjadi spot melukisnya. Aku diminta untuk duduk disana.Dia mulai sibuk dengan kuas, cat dan kanvasnya saat ponselku memberi tanda panggilan disana.
"Baru pertama kali di lukis?" Tanyanya saat ponselku berhenti berdering.
Aku kembali mengangguk.
"Keliahatan kok,"
"Apanya?"
"Kakunya," jawabnya sambil tertawa kecil.
Ponselku kembali mengeluarkan nada.
"Kak, boleh minta tolong di liat? Barangkali mama atau kakak yang menelepon."
Kak Woki beranjak menuju meja yang tak jauh dari tempatnya duduk.
"Jifal," katanya. "Mau diangkat?"
"Tidak usah kak, entar ku telepon balik setelah ini selesai."
Kak Woki kembali ke posisi semula. Kembali sibuk dengan alat-alat didepannya."Pacar?"
Giliranku tertawa kecil.
"Kalau pacar nama kontaknya jelas bukan pakai dong kak,"
"O, berarti aman." Tuturnya setengah berbisik.
"Apa kak?" Aku pura-pura tak mendengar.
"Kalau aku di kontakmu?"
"Ya jelas Kak wokilah."
"Yah, kirain di tulis sayang, my love atau husband mungkin,"
Aku tertawa. Ku kira, kakak yang satu ini hanya bisa serius ternyata bisa juga melucu atau menggombal lebih tepatnya.
"Ok, tugas kamu sebagai model selesai. Ku rapikan sedikit ya lukisannya."
Aku beranjak ke meja, meraih ponsel dan membuat panggilan untuk Jifal.
"Kamu dimana?" Bukanya tanpa memberi salam pembuka terlebih dahulu.
"Aku lagi di rumah seniorku."
"Sama siapa?"
"Ya aku sama seniorku."
"Berdua saja?"
"Iya."
"Sudah selesai kan?" Jifal bertanya lagi. Sudah cocok di sebut interogasi sepertinya.
"Iya sudah."
"Kirim alamatnya, aku jemput sekarang."
"Kamu kenapa sih, aneh deh. Udah ya, bye." Tutupku.
Kak Woki memanggilku mendekat dan memperlihatkan buah karyanya itu. Wajahku terlihat jelas disana dengan perpaduan ragam warna-warni."Bagaimana?"
"Wah bagus banget kak."
"Suka?"
"Iya,"
"Aku juga suka,"
"Sama kamu," lanjutnya setelah menjeda kalimatnya beberapa detik.
Aku sontak kaget mendengar ucapannya. Aku mulai merasa tidak nyaman berada disini.
Kak Woki tertawa puas kemudian. Ku tatapnya dengan sudut mata penuh tanya selepas tawanya usai.
"Kamu polos sekali, nona. Serius sekali kamu."
Aku berdecak lega. Syukurlah.
Kak woki meminta ponselku. Mencari namanya di kontakku lalu menekan dial hingga ponselnya bersuara.
"Lihat," tuturnya sambil memperlihatkan layar ponselnya.
Ada fotoku disana berdampingan dengan tulisan berhuruf besar BIDADARIKU."Tidak apa-apakan jika hanya sekedar mengagumi?"
Aku mengangguk. Setuju saja dengan perkataannya.
"Oh ya, modelnya minta bayaran berapa nih?"
"Tidak usah kak, modelnya amatiran kok."
"Tidak boleh begitu dong."
"Yah, kalau kakak memaksa. Teraktir aku bakso saja di kantik kampus besok. Aku balik ya kak."
"Aku antar."
Dia melompat. Meraih kunci mobil di sebelah jaket yang tergeletak begitu saja diatas Meja.
Aku turun di depan toko Baba ong saat kulihat Jifal tengah berdiri di depan toko dengan payung merah maronnya.
"Jam sebelas lewat," bukanya sambil mengamati jam tangannya.
"Iya tahu kok. Aku sudah ngabarin mama pulang telat," gumamku sambil berdiri merapat di sampingnya hingga kami sekarang berada dalam satu naungan payung yang sama.
Kami berjalan bersama di tengah guyuran hujan. Dia diam saja saat kutanyai sedang apa dia disana di malam yang dingin seperti ini. Dari raut wajahnya, dia sedang tak terlihat baik-baik saja. Dahinya di tekuk dan tak ada sedikitpun senyum disana. Aku bahkan takut untuk menanyakan kabarnya atau sekadar menanyakan kapan dia datang dari jakarta? Bagaimana perjalanan? Wajahnya terlihat menyeramkan saat dia seserius ini.
Aku jadi ingat beberapa tahun yang lalu. Saat dia masih menjadi "manusia kanebo" layaknya lap kering kaku yang bahkan untuk sekadar senyum senyum atau menyapa kepadaku pun tidak. Jangan sampai dia kembali lagi ke Sifat lamanya.
"Masuk sana. Ada oleh-oleh coklat dari jakarta buat kamu. Tadi aku titip ke mamamu."
"Terima kasih ya, kok ..."
"Aku pulang," potongnya sambil berlalu.
Aku menatap punggungnya saat dia berlalu. Siapa yang mereset ulang sistemnya ke pengaturan pabrik.
"Tuhan, jangan biarkan dia kembali menjadi Jifal si manusia kanebo lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak Rasa
RomanceJika kisah kita memiliki tombol CTRL-Z. Akan ku cari dan kubeli. Mengapa harus ada penyesalan sedang aku membuat keputusan itu dengan sangat matang. Mengapa perasaan itu harus tumbuh di saat yang tidak tepat. Saat ku rasa baik- baik saja tanpamu tap...