Bab 2

19 4 0
                                    

Nih,” singkat Kak Kinara sambil menyodorkan sebuah kotak kecil untukku.

Ini parcel ketiga yang ku terima dalam seminggu ini, tanpa nama pengirim tiba-tiba saja bertandang di depan pintu kami dengan tulisan yang sama kepada Kiera. Tanpa ada penjelasan lebih lanjut lagi.

"Paling si Bagam," Tebak Kak Kinara sambil mencomot sebuah coklat dari dalam kotaknya.

Ya memang jawaban yang paling mendekati mungkin, memang cuma Bagam. Siapa lagi yang suka memberi ku hadiah selain Bagam. Tapi yang anehnya kenapa mesti pakai acara di taruh begitu saja di depan pintu. Kenapa tidak langsung masuk dan memberi langsung ke aku kalau memang dari dia? Atau mau bikin semacam surprise Mungkin? Entahlah, semakin kesini makin aneh saja kulihat tingkahnya.

Setelah hampir seminggu terkungkung di rumah karena harus istirahat pasca kecelakaan itu, akhirnya hari ini aku bisa juga menikmati kebebasanku seperti semula. Bebas kemanapun dan kembali beraktifitas seperti biasanya.
Maka hal pertama yang aku lakukan adalah berkunjung kerumah sahabatku Bagam. Entah mengapa dia tak ada kabar beritanya, tidak juga mengunjungiku di rumah pasca kecelakaan itu. Apa dia kembali sibuk dengan turnamen-turnamennya?

Ada banyak kegalauan yang ingin aku share dengannya, termasuk soal kabar dari HRD Departement Store tempatku iseng-iseng memasukkan lamaran dengan modal surat keterangan lulus saja. Karena kebetulan ijazahku belum keluar.

Modal nekad yang ternyata berbuah manis. Aku pun di terima sebagai karyawati disana. Kebetulan di tempat itu sedang ada penerimaan besar-besaran.

Antara senang dan sedih sebab aku belum izin pada mama dan Kak Kinara. Entah mereka akan setuju dengan pilihan ku ini yang memutuskan untuk langsung kerja saja setelah lulus sekolah dan tidak memilih jalur kuliah seperti Kak Kinara.

Aku langsung membuka pintu kamar Bagam. Seperti biasa tanpa mengetuk dan memberi salam terlebih dahulu. Entah mengapa aku suka lupa sopan santun yang biasa di lakukan saat bertamu jika berada di tempat Bagam.

Aku baru tersadar dua pasang mata yang menatap ke arahku dengan ekspresi seolah sedang melihat mahluk halus saja. 

Jifal, buru-buru pamit pulang saat aku melangkahkan kakiku masuk ke kamar Bagam. Ada yang aneh, apa aku tidak salah lihat Jifal main kesini? ini kali pertama aku melihatnya di rumah ini. Apa dia minta diajari main catur, piano atau minta diajari matematika? Tapi kalau yang ini tidak mungkin, Jifal jago matematika juga, bisa dibilang dia langganan olimpiade matematika. Apakah seminggu ini si manusia kanebo tiba-tiba bersahabat akrab dengan Bagam?

“Sudah sehat?” tutur Bagam sambil mengacak-acak poniku.

“Iya, kamu gimana?”

“Seperti yang kamu lihat,” singkatnya sambil membereskan buku-buku tebal berbahasa Inggris dan beberapa lembar kertas yang berserakan di lantai.

Ooo jadi ini yang di bahasnya tadi bersama Jifal. Otak yang pas-pasan seperti aku mana mengerti dan tidak mungkin diajak dalam club’ belajar mereka.

Aku mengurungkan niatku untuk curhat ke Bagam. Setelah soft drink ku habis, aku minta izin pulang. Tiba-tiba saja hilang mood untuk curhat.

“Aku antar?”

Aku tertawa kecil mendengar tawaran Bagam, tergelitik saja mendengarnya. orang rumahku di depan sana saja. Sekali menyeberang sampai, pakai acara mau diantar pulang segala.

“Ga usah Gam. Thank’s atas giftnya ya.”

Bagam menampakkan wajah bingungnya mendengar ucapanku.

“Aku pulang," lanjutku.

Kak Kinar langsung memberondongku dengan pertanyaan soal kuliah saat aku sampai di rumah. Beberapa hari lagi pendaftaran akan segera dibuka sedang aku belum juga mempersiapkan apapun. Baik berkas ataupun bayangan kira-kira jurusan apa yang akan aku daftari nanti. Sama sekali tidak ada di benakku.

Mama yang tadinya sedang asik menonton sinetron tiba-tiba mengecilkan suara televisi dan ikut nimbrung dengan aku dan Kak Kinara.

Mungkin inilah saat yang tepat untuk membicarakan ini pada mereka. Meski sedikit di bekap rasa takut tapi bagaimanapun ini harus aku bicarakan, mereka berhak tahu apa yang sebenarnya aku inginkan.

“Aku tidak mau kuliah!”

“Apa!” Mama dan Kak Kinara kompak mengeluarkan satu kata itu dan memandangiku dengan Ekspresi wajah syok.

“Aku mau langsung kerja saja,"

Mama geleng-geleng mendengar ucapanku.

“Yang sarjana saja susah dapat kerjaan sekarang ini, apa lagi yang cuma tamatan SMA kayak kamu.”

“Aku udah dapat panggilan kerja Ma, di Departemen store,” Tuturku dengan semangat.

Mama menarik nafas panjang sepenuh dada, mendengar perkataan ku barusan.

“Mama maunya kamu kuliah, seperti Kakakmu.”

“Tapi Ma, aku tidak sepintar Kak Kinara,” kilahku.

"Gak perlu pintar yang penting kamu tekun," potong Kak Kinara sekubuh dengan mama.

Aku hanya mengutaran satu alasan itu saja alasan yang kedua aku tidak mau merepotkan Mama lagi, beliau sudah cukup kerja keras untuk menghidupi kami dan sekarang sudah saatnya untukku meringankan bebannya. Tidak bisa ku bayangkan kalau Mama harus dua kali lebih giat lagi bekerja demi menghasilkan uang karena harus membiayai 2 mahasiswa yang aku yakin butuh biaya yang tidak sedikit.

Mama masuk ke kamarnya, kulihat gurat kecewa diwajahnya. Untuk pertama kalinya aku mengambil keputusan yang tidak searah dengan pemikiran mama. Seketika aku di bekap rasa bersalah tapi jauh di lubuk hatiku yang terdalam, aku hanya ingin meringankan beban Mama saja. Itu saja.

Jejak RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang