Sedari subuh. Aku dan paman vincent sudah berada di rumah sakit daerah. Menunggui salah satu rombongan touring moge yang mengalami kecelakaan saat kami hendak bertolak pulang ke kota setelah menuntaskan reuni kecil-kecilan di salah satu villa daerah pengunungan sekitar 4 jam dari kota.
Untung saja lukanya tidak serius dan hanya syok sedikit hingga setelah infusannya habis. Bapak itu sudah bisa pulang.
Aku di tugasi menebus obat di apotik rumah sakit saat seorang ibu berumur setengah baya datang mengampiriku untuk meminta tolong menghubungi anaknya via ponsel yang di sodorkannya padaku.
"Halo,"
Aku menyodorkan kembali ponsel tersebut kepada ibu yang tadi saat seseorang dengan nama kontak "anakku 1" memberi sapaan di balik sana dan merekapun memulai obrolan.
"Terima kasih, nak."
Aku tersenyum sambil mengangguk.
"Di beliin ponsel baru dari anak tapi dasar orang tua, tidak tahu cara menggunakannya. Terlalu modern."
"Ponselnya harus sering-sering di mainin bu, nanti lama kelamaan paham."
"Iya Nak."
"Sendiri saja bu?"
"Iya, tadi di drop sama anak di depan. Terus ibu masuk periksa rutin sekalian perpanjang resep. Ini kalau selesai di jemput lagi."
"Oo," singkatku.
Ponsel ibu itu berdering. Di keluarkannya lagi dari dalam tasnya lalu di serahkannya lagi kepadaku.
"Ini bagaimana cara jawabnya nak," tanya ibu itu.
"Icon yang ini di geser ke atas bu," kataku sambil mengusap layar ponsel ibu itu dengan back ground layar foto pasangan laki-laki dan perempuan dalam nuansa jadul. Mungkin foto ibu ibu itu dengan suaminya di tempo dulu.
Ibu itu kembali melakukan percakapan disana dan setelahnya, diapun bangkit sambil berpamitan padaku.
Akupun ikutan bangkit sebab nama bapak yang ku tunggui obatnya, telah di panggil oleh apoteker."Silahkan," kata abang bubur ayam menyodorkan dua mangkok bubur plus topingnya untuk aku dan paman Vincen. Yang lain sudah sarapan saat aku menunggui obat di apotik.
"Paman, apa benar. Mama itu selingkuhan papa dulu?"
Paman Vincen menurunkan sendok berisi bubur yang siap masuk kedalam suapannya. Syok mendengar pertanyaanku."Siapa yang bilang ke kamu,"
"Mama sendiri,"
Paman mendorong mangkuknya. Hilang selera seketika. Ya, aku salah. Harusnya aku tidak membahas ini saat makan seperti ini.
"Paman temannya papa kan?"
Paman mengangguk.
"Jadi benar?"
Paman kembali mengangguk.
Kini giliran aku yang hilang selera.
"Biarkan itu jadi cerita kelam dimasa lalu, mamamu sudah banyak menderita. Tidak usah menengok kebelakang lagi. Tidak ada yang bisa di ubah dari masa lalu, yang bisa di rubah hanyalah masa sekarang dan yang akan datang." Kata paman sambil merangkulku.
Akupun merangkulnya erat. Tidak ada hal yang paling menenangkan selain berada dalam pelukan paman Vincent. Hangat dan sangat nyaman. Paman Vincent lah yang selama ini menggantikan sosok papa dalam hidupku. Yang selalu memberi perlindungan, nasehat dan selalu menyayangiku layaknya putri sendiri.
"Hah, putri Paman yang cantik. Jangan merisaukan apapun. Selagi ada paman di sampingmu," lanjut paman sambil menbratkan lagi pelukannya. Aku menangis dalam peluknya, bukan karena sedih tapi karena terharu dengan segala bentuk pernatian paman terhadapku selama ini.
"Eh, mau lihat foto ayahmu dulu?"
Aku mengangguk.
Paman mengeluarkan sebuah foto ukuran polaroid dari dalam dompetnya. Foto yang mulai terlihat usang dengan pinggiran yang mulai rusak lapuk termakan usia.
Aku memutar ingatan. Rupa yang berfoto dengan paman ini saat mirip dengan rupa yang kulihat tadi di walpaper ponsel ibu yang tadi. Apa wajahnya saja yang mirip? Aku juga tidak memperhatikan secara seksama hanya sepintas lalu saja.
"Simpan buat kamu saja," kata paman sambil beranjak ke abang penjual bubur ayam untuk melakukan pembayaran bubur yang hanya menjadi korban adukan kami saja.
"Eh, yang di apotik tadi ya?" Sapaan tadi sontak membuatku membalikkan badan ke belakang.
Ibu yang tadi tengah berdiri di sudut meja dengan seorang pria di sebelahnya yang tengah sibuk menyipakan kursi untuk ibunya.
"Iya bu, belum pulang?"
"Iya Nak. Mau sarapan dulu bareng anak sebelum dia balik ke kota. Bin, ini kenalin gadis yang tadi ngebantuin ibu."
Pria itu mengangkat wajahnya dan aku terkesiak seketika.
"Kak Jubin?"
"Kiera."
"Ayo Ra, yang sudah siap nungguin di parkiran." Ajak paman kembali menghampiriku.
"Kamu Vincent kan?"
Pertanyaan ibu yang tadi membuat kami sama-sama terdiam. Hening dalam durasi waktu yang cukup lama. Tidak tahu harus bagaimana merepon keadaan yang cukup membingungkan ini. Hingga aku memilih angkat kaki saja dari pada nantinya aku berujar atau bahkan berbuat sesuatu yang akan lebih memperburuk situasi. Lebih baik tidak sekarang.
Kakak lunglai, hampir saja pingsan saat mendengar ceritaku. Entah bagaimana kondisi mama jikalau suatu hari cepat atau lambat kenyataan ini sampai juga padanya. Aku yakin, reaksi mama pasti akan lebih dari Kakak.
"Kakak sudah paham kan sekarang? Mulai saat ini, Anggap kakak tidak pernah bertemu dan kenal dengan Kak Jubin. Buang semua ingatan kakak tentangnya. Belum terlambat untuk menata kembali hidup kakak lagi dan belum terlambat untuk kembali memperbaiki hubungan Kakak dengan mama. Mama sudah tua dan sudah banyak menderita selama ini. Tidak bisakah kita membahagiakan mama di sisa usianya ini?"
Kakak memelukku sambil sesegukan. Kurasakan pilu yang mendalam dari tangisannya. Kakak benar-benar menumpahkan segalanya di tangisannya kali ini. Penyesalan akan menjadi pengalaman yang berharga buat kakak tapi yang terpenting dari semua itu adalah hikmah untuk menjadi pelajaran hidup agar tak mengulang kesalahan yang sama lagi dan lebih bijak menapaki hidup yang tak mudah ini.
"Menangislah sekarang karena besok kita akan menata ulang dan lusa kita akan tersenyum bahagia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak Rasa
RomanceJika kisah kita memiliki tombol CTRL-Z. Akan ku cari dan kubeli. Mengapa harus ada penyesalan sedang aku membuat keputusan itu dengan sangat matang. Mengapa perasaan itu harus tumbuh di saat yang tidak tepat. Saat ku rasa baik- baik saja tanpamu tap...