Bab 1; "Boleh ikut ke rumah lo?"

35 5 0
                                    

Beberapa puntung rokok bertebaran di karpet cokelat kamar Hanna. Sudah dua batang yang dihabiskannya hanya dalam beberapa jam pagi ini, tetapi di bibirnya masih tergantung satu lagi benda serupa yang belum menyala. Tangannya sibuk, tampak mengobrak-abrik tempat tidur guna untuk mencari pemantik yang hilang entah ke mana.

“Di mana, sih!” gerutunya, sambil terus mencari.

Dia meletakkan rokoknya di kasur, kemudian turun dari ranjang, berlutut dan melonggok ke bawah meja. Tak ada apa pun selain kertas-kertas yang berserakan secara acak, juga tisu-tisu bekas yang tak berakhir di tempat sampah.

Dia terus mencari, membuka selimutnya yang kusut, menyingkirkan bantal-bantal yang bahkan tak tertata pada tempatnya. Bahkan gadis itu merangkak di bawah ranjang, demi menemukan sebuah pemantik yang sangat dibutuhkan. Namun tetap, tak ada apa pun. Ke mana sebenarnya benda itu?

Ketika sedang asyik mencari, tiba-tiba pintu kamar terbuka, menampakkan sosok wanita paruh baya, yang cukup untuk membuatnya terlonjak kaget. Hanya sebentar, sebelum akhirnya segala ekspresi terkejutnya lenyap begitu saja. Tampak tak peduli pada seseorang yang harusnya dipedulikan.

“Cari ini?” tanya wanita itu, sembari mengacungkan sesuatu berwarna hitam dengan motif bulat-bulat putih. Berbentuk seperti lipstik, tetapi Hanna tahu dengan baik bahwa itu bukan perias bibir biasa.

“Oh, ternyata ada yang ambil. Aku kira jatuh di jalan,” kata Hanna, seraya bangkit dan berjalan ke arah sang wanita; Mamanya. Dia mengulurkan tangan, bermaksud untuk meraih pemantiknya, ketika sang Ibu menjauhkan benda itu dari jangkuannya.

“Ini apa?” tanya Mama, dengan nadah penuh sarkasme. Sebenarnya, beliau sudah tahu perihal barang mungil yang ada di genggamannya. Hanya ingin mengetes. Apa kira-kira yang akan dijawabkan oleh Hanna?

“Lipstik,” ujar sang anak, singkat. Jawaban yang benar-benar cocok dengan praduga Mama di awal, sebelum beliau memasuki kamar.

“Lipstik?” ulang Mama, seratus persen tak percaya.

Jempolnya bergerak, membuka tutup benda kecil itu, menampakkan warna terang yang khas, semacam pewarna bibir pada umumnya. Kemudian, jari Mama menggeser bagian yang (harusnya) terasa lunak, hingga menimbulkan api kecil yang muncul dari lubang tersembunyi di dalamnya. Sama sekali tak terlihat seperti lipstik.

“Ini yang namanya lipstik?” tanya Mama, masih dengan nada yang sama.

Kali ini, Hanna diam saja, sama sekali tak menggubris ucapan penuh sarkas dari ibunya. Alih-alih menjawab, gadis itu malah merampas paksa pemantik, kemudian menampakkan senyum mengejek, yang sangat jauh dari kata sopan. Seperti biasa.

Thanks, Ma,” katanya, yang cukup untuk membuat Mama naik pitam.

Terlebih, ketika wanita itu mengedarkan pandangan, menatap sekeliling kamar yang sedang berantakan. Pandangannya terpaku pada bekas-bekas rokok yang telah habis dihisap, menjadikan amarahnya semakin meluap-luap.

“Kamu ini cewek, Hanna! Tapi kelakuan betul-betul liar! Mama enggak pernah lihat perempuan urakan seperti kamu! Mau jadi apa kamu, hah?!”

Bukannya takut, yang dibentak malah semakin mengembangkan senyum, “Jadi apa pun, asal enggak kayak Mama.”

Plak!

Bunyi tamparan terdengar, hasil dari mendaratnya telapak tangan Mama pada pipi kanan Hanna. Cukup untuk membuat gadis itu tersengat kaget. Namun, hanya sebentar, sebelum akhirnya anak itu tertawa tanpa beban, kembali menatap ibunya dengan pandangan benci.

“Pipi yang satunya enggak ditampar juga? Sekalian, dong! Jangan tanggung begitu, Ma. Atau ... Mama ambil setrika, deh! Tempel ke wajah Hanna. Biar seru.”

Let's Not Falling Love (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang