Bab 10; "Lo adik gue."

30 7 0
                                    

Hanna tercengang saat melihat rumah yang selalu dipertahankannya kini terbakar. Mobil yang ditumpanginya semakin cepat melaju, membuat bangunan itu terlihat semakin mengecil. Setelah larut dalam guncangan mental untuk beberapa saat, emosi mulai merasuki diri si Gadis, membuatnya kembali pada realita.

"LO BAKAR RUMAH GUE!" teriaknya dengan lantang.

Kendra hanya melirik tanpa mengatakan apa pun. Napas gadis itu menjadi tak beraturan, antara kekagetan perihal kejadian di dalam rumah oleh papa tirinya, dan juga kehebohan yang baru saja dilihatnya beberapa menit yang lalu.

"ITU RUMAH PENINGGALAN PAPA GUE! BRENGSEK! GUE BENCI SAMA LO!" Hanna menyambar botol minum yang ada di dasbor mobil, lalu memukul-mukulkan pada Kendra.

Yang dipukul hanya diam, tak melawan atau menghentikan, fokus menyetir tanpa berusaha melakukan apa pun. Membuat Hanna semakin tersulut emosi yang menggebu.

"ITU PENINGGALAN PAPA GUE, KEN!"

Gadis itu menangis meraung-raung. Dia menghentikan pemukulan, tetapi masih menggenggam botol dengan erat. Tangisnya kencang, cukup memilukan untuk didengar.

"Itu peninggalan papa gue," ulangnya. Suaranya melemah. Yang tersisa hanya isak dan air mata yang tak mau berhenti. Dia menolak segala ide yang mendorongnya untuk menjual rumah peninggalan Papa, tetap mempertahankan bangunan itu kendati suasana di dalamnya terasa seperti neraka. Namun, kini ini yang terjadi; dia harus kehilangan satu-satunya hal yang menjadi pengingat akan sosok Papa yang sudah tak bisa disentuhnya lagi.

"Gue tahu."

Amarah Hanna kembali bangkit ketika mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Kendra. Tampak sangat enteng tanpa penyesalan, membuat gadis itu menatap pemuda di sampingnya dengan sengit. Tangannya membuka tutup botol dengan cepat, dan dengan cepat pula dia menyiramkan air ke arah kawan laki-lakinya itu.

"Setelah ini, apa lagi? Lo mau bakar gue sama Kendra juga di sini?" tanya Hanna, sinis. "Jangan dikira gue takut sama lo!"

Kendra bingung mendengar ucapan Hanna. Tangan kirinya melepaskan setir, hanya untuk mengusap air dari wajah, akibat guyuran yang baru saja terjadi. "Maksudnya? Gue Kendra."

"Kendra enggak akan sembarangan bakar rumah dengan kondisi ada manusia di dalamnya," jawab Hanna, luar biasa geram.

"Tapi penjahat pantas mati," sahut Kendra. "Lo enggak tahu gimana rasanya waktu gue lihat kelakuan dia terhadap lo tadi."

Ujaran Kendra cukup untuk membungkam Hanna. Gadis itu terdiam, menatap teman laki-lakinya dengan pandangan yang sulit dijelaskan. Air mata masih setia membasahi pelupuk dan pipinya. Karena bingung harus menampilkan reaksi yang seperti apa, Hanna melempar botol hingga membentur kaca depan, lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan. Kembali terisak.

"Lo tahu itu satu-satunya peninggalan Papa, Ken," katanya, sedikit terbata. "Gue enggak punya pengingat lain tentang Papa selain rumah itu."

"Kalau Papa lo sekarang ada di sini, beliau juga akan pilih buang rumah tempat di mana anak kesayangannya jadi korban pelecehan," kata Kendra, sembari menoleh ke arah Hanna. Hatinya diliputi iba, membuat sebelah tangannya terulur untuk mengusap pundak si Gadis yang menangis. "Gue minta maaf, Han. Tapi gue enggak bisa lihat lo diperlakukan kayak tadi. Lo adik gue."

Refleks, Hanna menolehkan kepala mendengar kalimat terakhir Kendra. Dia tak lagi menutup wajah, berganti memandang Kendra dengan raut setengah bingung.

"Mulai sekarang, lo ikut sama gue. Tinggal sama gue," kata Kendra lagi. "Dan stop kasih gue tatapan aneh kayak sekarang. Sumpah, gue Kendra. Kembaran gue masih tidur."

Pemuda itu terus melajukan mobil. Dia membawa Hanna ke rumahnya. Namun, alih-alih menetap, mereka kembali pergi meninggalkan kompleks. Lelaki itu hanya berhenti untuk mengambil beberapa barang.

"Lo mau bawa gue ke mana?" tanya Hanna. Suaranya serak, tetapi air matanya berhenti. Tangisnya telah lenyap.

"Pergi dari sini," jawab Kendra, singkat.

Hanna tak bertanya lebih lanjut. Emosinya masih sulit dikendalikan karena rentetan kejadian yang dialaminya pada hari yang sama. Pikirannya melayang pada segala sesuatu yang tertinggal di belakang. Bagaimana keadaan papa tirinya saat ini? Mungkin, pria itu mati, atau mengalami luka bakar yang cukup parah. Hanna sebenarnya tak peduli. Dia hanya bertanya-tanya.

Bagaimana juga keadaan di kompleks rumahnya? Pasti saat ini banyak warga sedang berkerumun di dekat huniannya yang penuh api, disertai dengan beberapa pemadam kebakaran dan polisi. Jika pihak yang berwajib mencium adanya suatu kejanggalan di sana, Kendra akan terancam penjara. Belum lagi dirinya, sebagai pemilik rumah yang tak melaporkan kejadian itu.

Dan masih ada perkara Mama. Apa yang akan dilakukan wanita itu jika tahu bahwa beliau telah kehilangan dua hal sekaligus; rumah dan suami barunya? Belum lagi, ada fakta bahwa anak satu-satunya pergi, dan kemungkinan besar tak akan kembali, bersama seseorang-yang bahkan tak pernah dikenalkannya pada siapa pun.

Mama enggak akan khawatir sama gue, batinnya.

"Nanti kita makan di bandara aja, ya," ucap Kendra, membuat gadis itu kembali ke dunia nyata.

"Bandara?" Dia sedikit tersentak. "Kita mau ke mana?"

"Bali."

Let's Not Falling Love (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang