Dua minggu lamanya Hanna terbaring di rumah sakit. Tulang pinggangnya retak, lehernya mendapat jahitan sebanyak empat kali, dia kekurangan banyak darah. Beruntung, pihak security kompleks cepat membawanya ke rumah sakit. Jika terlambat sepuluh menit saja, gadis itu akan mati karena kehabisan darah.
Papa Kendra mendonorkan darahnya untuk Hanna, kebetulan tipe darah mereka sama. Setelah dikabari oleh pihak security, orang tua itu segera menuju rumah sakit dengan kalut. Tanpa perlu dijelaskan, pria itu sudah tahu apa yang terjadi. Beliau sudah dapat menebak dengan sangat jelas. Bahkan, pria itu menjelaskan dengan gamblang pada pihak kepolisian perihal kesehatan mental anaknya, kesehatan mentalnya sendiri, juga asal-usul keluarganya. Se-sayang itu sebenarnya pria tua itu pada Kendra.
Hanna siuman dengan denyutan di kepala yang terasa sedikit sakit. Banyak sekali pertanyaan yang menghajar kepalanya dengan bertubi-tubi. Di mana Kendra? Apa yang terjadi dengan pemuda itu? Siapa yang membawanya kemari? Lalu, apa yang terjadi setelah kejadian tembak-menembak di rumah Kendra? Dia ingat merasakan sakit yang luar biasa di pinggang dan lehernya, ingat saat Kendra hampir membunuh dirinya sendiri dengan pistol yang sama, ingat saat pemuda itu tiba-tiba melempar pistol lalu berlari keluar, meninggalkannya sendiri. Hanya satu menit, lalu kesadarannya menghilang, dia tidak bisa ingat apa pun lagi. Hanna pingsan dan tidur selama beberapa hari, terbangun mendapati dirinya di ranjang rumah sakit dengan infus terpasang di tangan dan leher terbalut perban.
Pintu kamar rumah sakit terbuka, menampakkan seorang suster dengan membawa sebuah kertas dan bolpoin. Melihat Hanna yang sudah membuka mata, suster itu segera mendekat, meletakkan barang bawaannya di meja. Wanita itu memeriksa kondisi Hanna, mengecek infusnya, tanpa mengatakan apa pun.
“Suster,” panggil Hanna pelan. Bahkan, untuk bicara saja rasanya tenggorokannya sakit. Kerongkongannya tak terisi apa pun selama berhari-hari. Makanan dan minuman dimasukkan lewat infus.
“Jangan bicara dulu,” kata suster. “Saya panggil dokter sebentar.”
Suter wanita itu pergi lagi, kembali sepuluh menit kemudian bersama seorang dokter.
***
Hanna sudah merasa sedikit pulih lima jam setelahnya. Pulih bukan berarti dia bisa seenaknya turun dari ranjang rumah sakit lalu berlarian dan mengumpat keras-keras. Pulih yang dimaksud di sini hanya sudah dapat bicara tanpa mengalami nyeri tenggorokan. Untuk bangun atau sekedar duduk, dia belum mampu. Darahnya membanjir cukup banyak akibat tembakan yang dibiarkan terlalu lama, jadi beginilah akhirnya.
Tak ada seorang pun yang menjaganya di rumah sakit. Dia sendirian. Memangnya siapa yang mau menjenguknya? Dia tak punya teman dekat selain Kendra. Orang tuanya juga tak tahu ke mana. Malang sekali. Namun, bukan kemalangan itu yang jadi beban pikirannya saat ini. Hanya satu; Kendra Panava. Di mana dia? Apa yang terjadi?
Satu menit, dua menit, hingga sepuluh menit, kamar rumah sakit yang ditempati Hanna terasa sunyi. Yang terdengar hanya bunyi detak jam dinding. Dia juga terlalu tenggelam dalam pikirannya. Rasanya ingin menemui seseorang dan menanyakan segala hal yang mengganjal di kepala. Diam-diam, dia merutuki ponselnya yang sudah lama hancur. Jika ponselnya di sini sekarang, dia bisa menelepon Kendra.
Pintu kamar kembali terbuka setengah jam setelah Hanna dilanda keheningan. Bukan dokter atau suster seperti tadi, melainkan seorang asing. Orang asing yang dikenalnya.
“Om,” kata Hanna pelan, ketika melihat Papa Kendra masuk ke dalam membawa keranjang penuh buah-buahan. Pria itu tampak tersenyum ramah, mendekat ke ranjang Hanna dan meletakkan barang bawaannya di meja kecil.

KAMU SEDANG MEMBACA
Let's Not Falling Love (End)
Fiksi Penggemar(Junkyu x Asa) Pertemuan tak sengaja antara Kendra dan Hanna menciptakan kisah lain di hidup mereka yang sedang tak baik-baik saja. Kemiripan di antara mereka pun semakin mendekatkan, mengeratkan, membuat predikat orang asing beralih menjadi sahabat...