Waktu telah menunjukkan pukul dua dini hari. Sungguh suasana yang sangat tenang. Banyak manusia-manusia yang telah tenggelam dalam dunia mimpi masing-masing. Hanya suara jangkrik yang terdengar mengalun di sepanjang Jalan Monte, berpadu dengan angin yang bertiup sedikit kencang. Malam yang dingin, yang biasa dimanfaatkan oleh kebanyakan orang untuk bergelung dalam selimut hingga mentari terbit beberapa jam lagi.
Suara derap kaki terdengar sayup-sayup memecah kesunyian. Awalnya pelan, makin lama bertambah cepat seiring dengan panggilan yang tak bisa dibilang lirih.
“Rhe!”
Sesosok laki-laki tampak berlari, mengejar gadis di depannya yang sedang menangis. Si gadis (yang baru saja dipanggil Rhe) tampak tak peduli, terus saja berjalan dengan langkah terburu-buru. Lagaknya sudah seperti seseorang yang sedang menghindari penjahat saat ini. Terlihat dari beberapa bagian tubuhnya yang sedikit gemetar ketakutan.
“Rhea! Dengar gue dulu!”
Kali ini, sang pria mampu menyamakan langkah. Dia segera menyambar lengan perempuannya paksa, membuat gadis itu berhenti secara mendadak.
“Gue mau pulang!” teriak Rhea, masih dengan air mata yang berlinang. Dia terlihat kacau. Benar-benar kacau.
“Gue minta maaf, Rhe. Gue...”
“Berapa kali lo bersikap begini, Ken!” bentak Rhea, memotong kalimat lawan bicaranya yang belum sempurna. Gadis itu semakin menangis, tak henti menatap tajam ke arah Kendra yang berdiri di hadapannya.
“Rhea, gue...”
“Selama ini gue selalu kasih maaf. Tapi, kali ini enggak bisa lagi. Lo keterlaluan.”
Ujaran yang cukup untuk membuat kedua mata Kendra berkaca-kaca. Dari sorot pandangannya, pemuda itu benar-benar mengungkapkan permintaan maaf dengan tulus, tanpa ada sesuatu yang sengaja dilebih-lebihkan. Penyesalan tergambar sangat jelas. Terlebih, ketika dia mengulurkan tangan, mencoba menyentuh sang gadis, yang masih tampak tak baik-baik saja.
“Rhe, gue...”
“Jangan pegang-pegang!”
Yang disentuh segera menyentakkan lengan, membuat Kendra melepas tanpa perlawanan. Pemuda itu mundur beberapa langkah, seolah takut akan semakin melukai Rhea seperti yang sudah selalu dilakukannya. Tatapannya sarat dengan kegetiran, campuran antara rasa sesal dan takut kehilangan.
“Gue enggak bisa sama lo lagi. Kita selesai di sini, Ken.”
Lontaran selanjutnya dari Rhea cukup untuk membuat Kendra merasa linglung. Hanya sesaat, sebelum akhirnya pemuda itu memohon. Betul-betul memohon. Mengemis, mungkin itu kata yang patut disematkan, agar Rhea mau mengubah keputusan. Rhea adalah dunianya, satu-satunya orang terdekat yang dimiliki dan mampu memilikinya sepenuh raga.
“Please, Rhe! Gue minta maaf. Cuma lo yang bisa paham tentang kondisi gue. Gue enggak mau putus sama lo.”
Yang diajak bicara hanya menggelengkan kepala. Dia membuka mulut, hendak mengatakan sesuatu, tetapi Kendra memotong. Pemuda itu melanjutkan kalimatnya dengan nada sangat-sangat putus asa.
“Lo mau apa? Gue bisa kasih semua yang lo mau. Mau beli apa? Atau, mau jalan-jalan? Kita ke Australia, ya, Sayang? Lo suka di sana, ‘kan? Kita bisa berangkat lusa. Gue siap...”
“Gue mau putus, Ken.”
Kini, giliran Rhea yang memutus kalimat panjang dari mantan kekasihnya. Membuat Kendra mematung, tak mampu lagi bicara karena terlalu remuk. Hatinya seperti diremas oleh tangan tak kasat mata, hancur berkeping-keping tanpa dapat dicegah.
“Thanks buat satu tahunnya. Dan, sorry, karena gue masih kurang bisa paham dengan kondisi lo sebagaimana mestinya. Gue pergi.”
Sang pria masih diam, menatap gadisnya dengan pandangan terluka. Sangat terluka. Bahkan, ketika sebuah mobil berhenti tepat di depan mereka, menampakkan sosok laki-laki dari balik jendela kaca yang diturunkan dan membawa Rhea pergi dari sana, dia tetap membisu. Pikirannya seolah berhenti. Segalanya usai, seperti yang sudah-sudah.
Mobil melaju di tengah heningnya malam, meninggalkan Kendra dengan segala keadaan hati yang berkecamuk. Perasaan sedih, sakit, kecewa, marah, menyesal, dan entah apa lagi, tak henti berkelebat di dirinya, membuatnya akhirnya mengeluarkan teriak kencang.
“BRENGSEK!” jeritnya, seraya menendang tong sampah aluminium yang berdiam di depan rumah salah satu tetangga. Malam sunyi itu digantikan oleh suara klontang yang sangat keras, penanda betama besar emosi yang menuntut diluapkan.
Kendra mengacak-acak rambutnya, lalu kembali menjejak tempat sampah yang sudah tergeletak menghamburkan seluruh isinya keluar. Dia marah, betul-betul marah dan tak kuasa menahan diri lagi.
Kini semuanya telah selesai. Hubungan mereka akhirnya berakhir, seperti yang selalu ditakutkannya. Dan dia sama sekali tak bisa menyalahkan Rhea atas keputusan yang baru saja dibuat. Dia sadar, memang dirinya yang tak dapat mengontrol diri. Dan hal itu sering sekali terjadi. Namun, kali ini lebih parah; paling parah, hingga membuat pacarnya ketakutan setengah mati, berlari keluar dari rumah sambil menangis.
Setelah puas dengan tong sampah yang tak berdosa, Kendra melamun, menatap batu berukuran cukup besar yang tergeletak tak jauh dari tempatnya berdiri. Untuk sekian detik yang cukup lama, dia akhirnya menampakkan senyum miring, senyum yang sangat dibenci oleh Rhea, lalu memungut benda padat nan keras itu tanpa pikir dua kali.
“Sialan,” gumamnya, tanpa nada tinggi seperti tadi. Dia mengayun-ayunkan batu di tangannya, kemudian mulai berteriak kencang, “SIALAN!”
Pemuda itu melemparkan batunya ke arah salah satu lampu jalan dengan kuat, membuat suara pecahan kaca terdengar seketika. Kendra kembali menampakkan senyum miring, lalu berjalan santai menuju rumahnya. Kelewat santai, hingga sepertinya dia tak sedang mengalami kejadian apa pun, yang bahkan baru saja terjadi.
•••
CAST OPEN
Kim Junkyu as Kendra Panava
KAMU SEDANG MEMBACA
Let's Not Falling Love (End)
Fanfic(Junkyu x OC) Pertemuan tak sengaja antara Kendra dan Hanna menciptakan kisah lain di hidup mereka yang sedang tak baik-baik saja. Kemiripan di antara mereka pun semakin mendekatkan, mengeratkan, membuat predikat orang asing beralih menjadi sahabat...