Bab 18; "Jadi, lo siapa? Pacar gue?"

44 7 0
                                    

Promise me to not leaving me alone.”

Okay.”

You really mean it, right?

“Iya. Bawel! Padahal, sebelum ini malah lo yang mau pergi dari gue.”

Kendra tertawa mendengar jawaban Hanna. Dia mengusap rambut gadis yang sedang berbaring di pelukannya itu dengan sayang, mengecup singkat puncak kepala si Perempuan yang tak tampak menolak. Perjanjian mereka rusak dilalap semesta. Tak ada lagi let’s not falling love seperti yang direncanakan. Segalanya buyar dalam semalam. Hati memang tak bisa dibohongi.

“Gue ngantuk, Ken,” kata Hanna lagi, menyuarakan perasaan yang kini melanda. Kedua matanya berat, tak dapat ditahan lagi.

“Ya udah, tidur,” jawab Kendra, sembari masih tetap mengusap rambut gadisnya dengan sayang. Setelah semua yang terjadi pada mereka, Hanna sudah bisa disebut sebagai ‘gadis-nya’, ‘kan?

Setelah percakapan singkat barusan, tak ada sesuatu pun yang terjadi. Mereka saling bungkam. Hanna pun memejamkan mata, tetapi belum jatuh dalam lelap. Tangannya diletakkan di atas dada Kendra, tanpa ragu-ragu. Kali ini, dia benar-benar tak dapat menampik perasaannya sendiri. Dia jatuh cinta pada pesona Kendra Panava.

Beberapa menit berlalu. Pun beberapa jam yang tak terasa dilewatkan dalam keheningan. Hanna telah hilang dalam mimpi, dengan senyum yang senantiasa tergambar menunjukkan keriangan hati. Hingga, segala kedamaian itu terpecah ketika Kendra mencengkeram tangan gadis itu, membuatnya harus menyudahi apa pun yang sedang diimpikannya saat ini. Perempuan itu menghampiri kesadaran, terbangun, menatap Kendra.

“Kenapa?” tanyanya, setengah mengantuk.

Sang Pemuda pun ikut menatap, kemudian menampakkan seringai andalan. “Lo cantik.”

Kendri, batin Hanna. Bahkan, dia bisa membedakan Kendra dan Kendri dengan cepat saat ini, melalui satu seringai. Oke. Gue harus tenang.

“Iya. Gue tahu,” kata Hanna, menjawab pujian dari Kendra barusan, sebisa mungkin membuat suaranya terdengar datar.

Kendra kembali menampakkan seringai, senyum miring yang sepertinya menjadi ciri khasnya. Pemuda itu tetap memandang ke arah kawan wanitanya tanpa berpaling, kemudian kembali melontarkan kalimat. Kali ini, kalimat tanya, “Jadi, lo itu siapa? Pacar gue?”

Hanna diam sejenak, tampak berpikir. Yang sedang dihadapinya ini bukan Kendra. Bukan Kendra yang dikenalnya secara akrab. Apa yang harus dikatakannya? Harus mengiakan atau tidak?

“Menurut lo?” Akhirnya, dia memilih jawaban yang itu; jawaban dengan tanda tanya, yang sekiranya cocok dilontarkan pada kondisi saat ini. Cari aman lebih baik.

Kendra (atau lebih tepatnya Kendra yang lain) menampakkan senyum andalannya (lagi), lalu mencium Hanna, entah untuk yang ke berapa kali hari ini. Bukan ciuman singkat, tetapi juga bukan ciuman panjang. Dia mengecup bibir Hanna, melumatnya cukup lama, menggigit kecil hingga bibir itu mengalirkan sedikit darah. Lalu, laki-laki itu melepaskan pelukannya pada tubuh Hanna, bangkit berdiri, memakai pakaiannya sendiri.

“Mau ke mana?” tanya perempuan itu, sambil merapatkan selimut di tubuhnya yang saat ini tak mengenakan apa pun.

Going somewhere.”

Jawaban yang mampu membuat si Gadis mengalihkan tatap pada jam dinding yang bertengger di dekat televisi. “Sekarang jam dua pagi,” katanya.

I know. Enggak usah ditunggu. Lo tidur aja”

Kendra membenarkan ritsleting celananya, lalu kembali meringsek ke arah Hanna, menciumnya lagi berulang kali hingga membuat gadis itu kewalahan. Bibirnya beralih ke arah leher, menyesap kulit bersih itu seperti bayi yang sedang menyusu. Membuat yang disesap kini menggigit bibirnya sendiri, menahan rasa sakit dan entah rasa apa lagi yang saat ini melanda.

Let's Not Falling Love (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang