“Kenapa mendadak, Ken?” tanya Hanna. Dia sedang menyiapkan pakaiannya, walaupun tak banyak. Hanya baju-baju baru yang dibelikan oleh Kendra setiba mereka di Bali hari pertama. Kendra telah membeli satu koper pagi ini, juga memesan tiket untuk kepulangan pada pukul 18:00.
Laki-laki itu tak menjawab pertanyaan kawannya, tetap sibuk melipat pakaiannya sendiri yang tidak seberapa.
“Ada masalah?” tanya Hanna lagi. Dia tahu pasti ada yang ditutupi oleh Kendra. Dan Hanna cukup yakin, perkaranya bukan karena kehabisan uang atau apa. Gadis itu sudah mengintip sendiri seberapa banyak saldo di salah satu rekening Kendra.
Yang ditanya tetap diam, entah sengaja atau tidak. Membuat Hanna berhenti mengurus pakaiannya, menatap Kendra yang tetap bergeming di dekat lemari. Gadis itu meletakkan satu baju yang tadi dipegangnya, lalu menghampiri Kendra.
“Ken,” panggilnya, ketika mereka telah berdiri berhadapan. Kendra menatap, mendengar teman perempuannya itu bertanya, “Is there something I didn’t know?”
Kendra masih diam selama beberapa detik, kemudian menggeleng. Geleng samar, yang sangat menampakkan ketidakyakinan.
“You’re not a good liar,” komentar Hanna, seolah bisa membaca adanya sesuatu yang keliru dalam diri temannya.
Kendra tersenyum, mencoba mengalihkan pikiran Hanna. “Tiba-tiba gue kangen rumah aja.”
“Lo? Kangen rumah?” kata Hanna lagi, benar-benar tak percaya. “Bohong banget.”
“Serius. Enggak tahu juga kenapa gue tiba-tiba merasa homesick kemarin. Nanti kalau udah di Jakarta, rasanya kangen jalan-jalan. Suka aneh.” Kendra menunduk, meletakkan bajunya pada koper, lalu menegakkan tubuh dan menatap Hanna. “Packing lagi, gih. Terus, lo mandi. Habis itu kita sarapan. Gue tunggu di lobi, ya.”
Lelaki itu pergi, tanpa menunggu apapun lagi. Sepeninggal Kendra, Hanna tak segera melakukan apa yang diperintahkan. Benaknya dipenuhi banyak pertanyaan yang masih mengganjal. Kendra kenapa? Sesuatu apa yang membuat pemuda itu ingin pulang, padahal tak ada alasan bagus yang bisa menggerakkan hatinya untuk kembali ke rumah sebelumnya? Kenapa juga harus mendadak? Dan, pertanyaan yang paling penting …
“Gimana nasib gue di Jakarta nanti?”
Hanna memikirkan alasan kenapa Kendra menjadi seperti ini, tetapi dia juga memikirkan dirinya sendiri. Dia tuna wisma sekarang. Mungkin, jika rumahnya masih ada karena api bisa dipadamkan dengan cepat, bangunan itu tak akan lagi sama. Segalanya akan berbeda. Dia tak bisa lagi tinggal di sana. Belum lagi urusan dengan mamanya, jika memang Mama masih mau mengurusnya.
“Terus, kalau dicari polisi … ”
Kepalanya terasa kosong, tak dapat memikirkan satu solusi pun. Dia bisa saja tinggal bersama Kendra. Namun, jika menyangkut polisi, tak akan ada tempat yang aman untuk mereka berdua di Jakarta. Jika suami mamanya masih hidup, pria itu akan melaporkan kronologi kebakaran dengan memutarbalikkan fakta atas tindakannya sendiri. Sementara Hanna maupun Kendra tak punya bukti konkret yang dapat digunakan untuk membantah, diperkuat dengan kepergian mereka berminggu-minggu yang tampak seperti tindakan buronan sedang kabur.
“Ada-ada aja, deh, hidup gue!” teriak Hanna. Alih-alih masuk ke kamar mandi atau melanjutkan aktivitas packing, gadis itu menjatuhkan tubuhnya di ranjang, menutup wajah dengan baju yang tadi dilipatnya.
Cklek!
Pintu kamar terbuka, membuat Hanna menurunkan baju dari wajahnya, menatap Kendra yang kembali masuk ke dalam kamar.
“Gue yakin, sih, lo enggak akan mandi kalau gue tinggal,” ujar pemuda itu, sambil menghampiri si Gadis. Dia menarik tangan Hanna lembut, hanya agar kawan wanitanya itu bangun dari posisinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let's Not Falling Love (End)
Fanfic(Junkyu x OC) Pertemuan tak sengaja antara Kendra dan Hanna menciptakan kisah lain di hidup mereka yang sedang tak baik-baik saja. Kemiripan di antara mereka pun semakin mendekatkan, mengeratkan, membuat predikat orang asing beralih menjadi sahabat...