Kegiatan Observasi Miwa

178 6 0
                                    

Cuaca sore itu masih cukup terik. Miwa sibuk pandangi langit-langit kamar yang tampak baik-baik saja sembari balurkan dua lapis sunscreen di kulitnya, takut terbakar nantinya— Karena kegiatan yang akan Miwa lakukan adalah perbaiki genteng kamar kosnya. Yah, sebenarnya memang tak terjadi apa-apa namun Miwa tetap ingin naik ke atap dan selidiki keadaan di atas sana dengan mata dan kepalanya sendiri. Jadi memang semua terjadi begitu saja, toh Miwa juga ingin merasakan sensasi berada di atas sana.

Satu persatu anak tangga, Miwa injak perlahan. Kepalanya berkali-kali menunduk, cek keadaan di bawah sana. Karena tak dapat dipungkiri, Miwa pun cukup was-was mengingat tak ada yang menjaga kondisi tangga di bawah. Kalau Adrian tahu kenekatan Miwa kali ini, mungkin Miwa akan berakhir dengan omelan panjang Adrian yang menasehatinya. Setelah susah payah berusaha naik, pemandangan atap dan jalanan komplek menyambut si April. Helaan nafas terdengar dari mulut lelaki itu, tangannya sedang seka bulir peluh yang sudah mulai basahi dahinya. Padahal Miwa belum lakukan apa-apa.

Dengan berhati-hati, Miwa berjalan menuju atap kamarnya. Matanya menyelidiki tempat itu, mencari hal-hal yang mungkin dapat buat kamarnya bocor jika diguyur hujan. Yah, meskipun memang belum pernah terjadi tapi bagi Miwa, apa salahnya untuk mencegah.

Dahinya mengerut, alisnya bertautan, matanya menyipit. Begitu fokus menyusuri atap kamarnya di bawah sinar matahari yang masih terik di atas kepalanya. Kaos yang ia kenakan pun mulai basah oleh keringat, namun hal itu tak buat Miwa tumbang dan memilih untuk mundur. Kembali ke kamarnya dan nikmati satu gelas es teh yang sempat ia beli bukan opsi yang Miwa pilih saat ini. Namun, kegiatan yang sedang Miwa lakukan begitu khidmat itu mendadak dibuyarkan oleh ponselnya yang bergetar di dalam kantong celananya. Tertulis nama Ayah dengan emoji hati berwarna hitam disana— Siapa lagi kalau bukan Adrian.

Tak mau ciptakan pertengkaran, Miwa akhirnya menerima telepon itu. Hal pertama yang indra pendengaran Miwa terima adalah lantangnya suara Adrian, "Miwa dimana sih, Sayang?!" seru Adrian keras. Tentu langsung tembus gendang telinganya, namun Miwa tak bisa utarakan protes karena ia pun sering lakukan hal yang sama kepada Adrian.

"Santai aja kali..." jawab Miwa santai. Bertolak belakang dengan kalimat Miwa, Adrian justru kembali menyerukan jawabannya dengan nada tinggi, "Pintu kamar kebuka, tapi enggak ada orang sama sekali. Mikir enggak kalo nanti orang jahat bisa masuk kesini?" sahut Adrian tegas, tangan kanan Miwa yang menggenggam ponsel refleks bergerak menjauhi telinga. "Aku baru di atas, habis ini aku turun," final Miwa sebelum putuskan sambungan telepon itu. Mungkin kegiatan observasi atap sore itu sudah harus dibubarkan sebelum Adrian mengamuk dan membubarkan kos serta isinya.

Sesampainya di kamar, Miwa disambut oleh Adrian yang berdiri di depan pintu. Badannya menyandar di dinding, kedua tangannya terlipat di depan dada, sorot matanya tajam. Apalagi keadaan Miwa yang berantakan oleh keringat yang masih bercucuran. "Jangan di bawah AC, nanti masuk angin," ujar Adrian tatkala Miwa berjalan cepat menuju AC yang menyala. Pendingin ruangan itu kemudian dimatikan oleh yang lebih tua sebelum menyalakan kipas angin dengan kecepatan sedang.

"Dari mana sih Miwa tuh?" celetuk Adrian sembari lucuti atasan Miwa yang basah oleh keringat. Tangannya kemudian meraih handuk yang terlipat rapi di dekatnya. Dengan cekatan dan lihai, Adrian menyeka tiap inci badan Miwa yang berkeringat. "Benerin genteng," jawab Miwa enteng, buat Adrian menoleh ke wajah yang lebih muda tak percaya.

"Ngapain sih aneh-aneh?" Ah, Miwa tahu. Mungkin sesi Adrian mengomeli Miwa sampai Miwa merengek itu sudah dimulai. "Bukan benerin sih, cuma cek aja. Soalnya 'kan udah mau musim hujan nih, takutnya ada yang bocor," jelas Miwa masih dengan nadanya yang santai, sama sekali tak terpengaruh oleh sorot tajam mata Adrian yang mengintimidasi.

"Kamu tuh punya HP 'kan? Buat kabarin tukang yang biasa benerin disini, bilang ke aku juga bisa. Enggak usah sok ngide aneh-aneh. Kamu tuh enggak kebiasa, kalo nanti kenapa-kenapa gimana? Mikir sampe sana enggak?" jawab Adrian ketus kali ini, sedangkan tangannya masih sibuk seka keringat di badan Miwa yang sedang mencebik kesal, "Kalo mau aneh-aneh gitu buang aja HP kamu, enggak usah pake aja. Orang buat ngabarin aja enggak becus," imbuh Adrian panjang. Belum terdengar belas kasihan di kalimat yang ia lontarkan untuk Miwa yang bergeming.

Kepala yang lebih muda menunduk, sedangkan bibir bawahnya digigit kuat. Dagunya kemudian diraih oleh Adrian agar menatap dirinya, "Aku disini, bukan di bawah. Kalo diajak omong, liat orangnya. Enggak sopan kalo kaya gitu, tau 'kan?" ujar Adrian masih tak ramah, tak pedulikan wajah Miwa yang memelas dan matanya yang sudah berair— Mungkin beberapa detik selanjutnya, ia sudah menangis karena tak bisa tahan air mata yang mulai penuhi pelupuknya.

"Aku maunya kamu ngomong, bukan nangis, Miwa." Kalimat dingin lain kembali terucap, Miwa masih berusaha keras untuk tak menangis lebih kencang. Adrian yang menatapnya datar itu benar-benar buat kaki Miwa melemas. "Maaf..." lirih Miwa setelah diam, tak miliki jawaban untuk setiap kalimat yang diutarakan oleh Adrian.

"Minta maaf sama diri sendiri, terus kamu mandi." Jawaban yang diberi oleh Adrian tak buat Miwa puas. Seharusnya Adrian luluh dan terima permohonan maafnya karena sudah begitu ceroboh. "Mas... Maaf," ujar Miwa dengan suara kecilnya.

"Iya. Sekarang kamu mandi, terus kita makan ya. Mas tadi bawain makan."

"Mas enggak mau mandiin aku?"

Sugar and Spice -  HOONSUKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang