[What If] Biarlah

118 6 0
                                    

Content Warnings: major character death

Adrian mengancingkan kemejanya dengan cepat, lalu semprotkan parfum kesukaan Miwa di titik-titik nadinya. Rambutnya ia merapikan sedikit menggunakan jarinya. Matanya lalu kembali menilik keadaannya di pantulan cermin besar di depannya. Semuanya masih tercetak jelas di ingatannya, bagaimana Miwa bersolek atau hanya sekedar memandangi wajahnya sendiri di kaca ini sebelum menyeru dengan kegirangan tentang betapa cantiknya dirinya hari itu. Kemejanya kembali ia rapikan sebelum melangkahkan kakinya keluar dari kediamannya. Berdiri di ambang pintu keluar rumah, kepalanya menengadah tatap langit kelabu sore itu— Adrian lagi-lagi ditemani mendung. Berpikir hujan akan segera turun, Adrian lantas bergerak cepat menuju mobilnya.

Kendaraan roda empat itu dilajukan dengan kecepatan sedang. Tak ada lantunan lagu disana, hanya terdengar suara angin karena Adrian sengaja buka jendela mobilnya, biarkan angin sore yang cukup sejuk menerpa badannya yang dibalut kemeja hitam. Rambutnya yang sudah memanjang bergerak kesana-kemari ikuti kemana angin membawanya.

Perjalanan sore itu memakan sekitar dua puluh menit. Adrian pun melangkahkan kakinya dengan sebuah buket bunga di tangan kanannya yang ia sembunyikan di balik punggung lebarnya. Kakinya lalu sedikit menekuk, berjongkok di tempat yang ia tuju. Tangannya lalu keluarkan sebuah sapu tangan dari dalam kantongnya sebelum selipkan bunga cantik itu di tempatnya. Diusapnya perlahan di tempat itu, nama Miwa Kanaka tercetak jelas disana. Sudah hampir satu bulan. Satu bulan Adrian seorang diri. Bahkan mereka baru diikat hubungan pernikahan satu bulan lamanya. Secepat itu. Secepat itu Miwa pergi dari hidup Adrian yang baru saja ia susun ulang bersama Miwa.

Merasakan matanya yang mulai memanas, Adrian menundukkan kepalanya. Berusaha tahan air matanya agar tak kembali turun. Cincin pernikahannya masih melingkar indah di jari manisnya. Jemarinya lalu usap benda berwarna silver itu. Matanya memejam kuat, tahan air matanya agar tak meleleh di wajahnya. Lelaki itu berusaha tegakkan pundaknya lagi, kuatkan dirinya sendiri— Karena ia tak mau bertemu Miwa dengan keadaan seperti ini, ia tak mau buat Miwa sedih.

"Miwa, apa kabar Sayang?" monolog Adrian lirih sembari mengusap nama yang tercetak di tempat itu. Semuanya tampak indah, dihiasi dengan potret Miwa yang tersenyum manis. Adrian menjeda kalimatnya sejenak, seolah tunggu sebuah jawaban terdengar di gendang telinganya. "Hari ini Mas beli sop ayam, tapi maaf Mas belum bisa habisin lagi Sayang... Waktu Mas beli tadi, Abang yang jual nanyain Miwa loh. Mas seneng Miwa diinget sama banyak orang." Untaian katanya kemudian berhenti sejenak, seka bulir air mata yang tumpah di pipinya tanpa ia sadari. "Sayang... Maaf ya, kayanya Mas belum bisa kesini tanpa nangis. Tapi Mas semalem tidur awal kok, meskipun sempet kebangun jam 2 pagi karena ngerasa ada yang meluk Mas dari belakang. Itu Miwa, ya?"

Adrian menghela napas panjangnya. Tangannya menyisir rambutnya ke belakang, legam itu lalu jatuh perlahan di wajahnya lagi yang sudah basah oleh air mata. Mulutnya terus berceloteh, ceritakan kehidupannya sendiri yang sebenarnya sama setiap harinya. Tapi, Adrian tak peduli. Karena kepada siapa ia bisa bercerita selain kepada Miwa yang tak pernah hakimi dirinya. Kepada Miwa yang tak peduli dengan tangisan dan rengekan Adrian yang nyaris dua kali lebih besar darinya. Hampir satu jam Adrian disana, beberapa orang juga berlalu lalang di belakangnya. Beberapa kali Adrian menilik, ada yang tampak bahagia dan ada yang tampak tak bisa sembunyikan kesedihannya. Hatinya kemudian berdoa, semoga ia bisa kembali ke tempat ini dengan senyuman lebar suatu hari nanti.

"Sayang... Mas pulang dulu, ya? Besok Mas kesini lagi sambil bawain Miwa mawar putih. Baik-baik ya Sayang, kalau mau ketemu sama Mas di mimpi boleh banget. I love you forever, Sayang."

Dengan perlahan Adrian berdiri, kembali rapikan kemeja hitam dan celananya sebelum melangkahkan kakinya keluar dari gedung cukup besar itu. Beberapa kali sapa pengunjung yang sering ia jumpai di sana sebelum masuk ke dalam mobilnya. Setelah nyalakan mobilnya, satu persatu bulir hujan mulai jatuh. Mau tak mau Adrian harus kembali ke rumahnya dengan jendela yang tertutup sempurna. Namun, semua itu begitu sulit bagi Adrian. Bayangan Miwa yang akan menatap ke arah luar jendela saat hujan di kursi penumpang itu kembali terproyeksi. Bahkan saluran radio yang sedang memutar lagu ceria tak dapat bantu Adrian sekecil pun. Lagi-lagi kedua matanya rasakan panas, bibir bawahnya lalu ia gigit kuat, tak mau menangis dalam keadaan mengemudi.

Namun, Adrian gagal. Bahkan isakannya terdengar jelas kali ini. Bahkan buat Adrian harus menepikan mobilnya di bahu jalan, setidaknya untuk beberapa menit kedepan agar Adrian dapat tenangkan dirinya. Kepalanya menunduk di setir, menangis sebegitu hebatnya saat otaknya kembali putar jutaan memorinya bersama Miwa yang tak pernah lepas dari kehidupannya.

Semua terjadi begitu saja. Padahal keduanya baru larut di dalam kebahagiaan hubungan pernikahannya yang manis, hubungan pernikahannya yang bahkan belum seumur jagung.

Pundaknya bergetar hebat karena tangisannya yang tak kunjung berhenti. Napasnya tercekat, tunjukkan seberapa hebatnya tangisan Adrian sore itu. Ditemani dengan suara hujan yang turun dengan lebat, Adrian kembali keluarkan luapan kesedihannya. Tak peduli meskipun kemarin, atau dua hari yang lalu sudah menangis. Rasa kehilangan itu tak kunjung hilang dari dalam dadanya. Begitu sesak, begitu menyakitkan. Tidurnya tak nyenyak. Makannya tak bernafsu, Adrian hanya makan untuk sekedar sambung kehidupannya.

Setelah sepuluh menit berhenti di pinggir jalan, Adrian berusaha kembalikan kewarasannya. Berkali-kali seka air mata yang masih mengalir deras dari matanya. Keadaan sekitarnya masih buram. Mata bulat yang sembab itu mengerjap beberapa kali, berusaha kembalikan penglihatannya agar dirinya dapat segera beristirahat di rumah.

Dengan sisa kekuatannya yang ia kumpulkan, Adrian berhasil pulang. Pulang ke rumahnya dan Miwa yang baru saja selesai dibangun dan siap huni setelah dua minggu pernikahannya. Adrian dengan cekatan lepaskan alas kakinya sebelum ia simpan di rak sepatu, masih tersimpan rapi beberapa sepatu kesayangan milik Miwa disana. Kakinya melangkah menuju dapur, ambil satu botol air mineral dingin dari dalam kulkas untuk ia tenggak hampir separuhnya. Matanya melirik sekilas keadaan dapur, ada satu gelas berisi seperempat air disana; Milik Miwa. Adrian lalu berjalan lemas ke arah kamar, copot kemeja hitamnya sebelum ia simpan di balik pintu— Di sebelah jaket tebal milik Miwa juga. Adrian sengaja, biarkan barang-barang Miwa di tempatnya. Seolah anggap eksistensi Miwa masih ada disana.

Adrian kemudian tidur terlentang di atas kasurnya, tatap langit-langit kamar. Sangat sunyi, hanya terdengar deru napasnya sendiri. Biasanya Miwa akan temani dirinya dengan celoteh lucu, rengkuhan erat di lengannya, dan kecupan manja di pipinya. Tapi Adrian sekarang hanya sendiri, seorang diri berbaring di kasur king size yang Miwa pilih dahulu. Adrian benar-benar sendiri setelah Miwa pergi, jauhkan dirinya dari orang lain. Sesekali Dahlia atau keluarganya atau keluarga Miwa berkunjung, namun mereka tak bisa ganggu Adrian karena mereka paham atas setiap kesedihan dan sepi yang Adrian putuskan untuk ia lewati. Jika ditanya, Adrian benar-benar terpuruk— Kehilangan Miwa, kehilangan cinta, dan kehilangan hidupnya.

Wajahnya kembali ia tutupi dengan telapak tangan lebarnya, badannya kembali bergetar karena tak lagi dapat tahan tangisannya. Mungkin jika Adrian dapat melihat Miwa untuk yang terakhir kalinya, ia akan dimarahi habis-habisan. Namun, Adrian tak peduli. Biarkan ia menangis, biarkan ia bersedih. Biarkan dia perlahan sembuh dan lepaskan Miwa suatu hari nanti. Biarkan Adrian rasakan setiap inci dari proses ikhlaskan kepergian Miwa.

Sugar and Spice -  HOONSUKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang