"Welcome to art club, Zem." Ketua ekskul lukis menjulurkan tangannya dan disambut dengan ramah oleh Zemira.
"Yes. Thank you, Erlangga," balas Zemira.
"Zem, kalau gitu, gue pulang duluan, ya? Udah dijemput sama bokap." Vania berpamitan---setelah dari tadi mengantar dan menunggu Zemira.
"Pulang aja, Van. Hati-hati ya," ujar Zemira, menanggapi perkataan Vania.
Vania mengangguk, kemudian meninggalkan Zemira bersama dengan Erlangga di ruang seni lukis.
Zemira melirik ke arah Erlangga yang menatapnya lekat. Mata laki-laki itu tajam, seperti elang. Ditambah alisnya yang cukup tebal, menambahkan kesan tegas pada dirinya.
"Jadi..." Erlangga memegang tengkuk lehernya. Suasana canggung terasa sangat kental di antara keduanya.
"Jadi, gue udah resmi jadi anggota ekskul seni. Dan gue cukup kaget sama ketuanya..." Zemira terkekeh, kemudian menatap Erlangga dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Kenapa kaget?" Erlangga menatap Zemira dengan tatapan sayu. Entah mengapa, saat berhadapan dengan perempuan ini, Erlangga menjadi lemah.
"Karena ketua geng motor SMA tercinta kita ternyata suka sama seni." Zemira tersenyum lembut.
"Gue suka seni dari dulu, Zemira," kata Erlangga. Suaranya terdengar cukup pelan, namun masih terdengar dengan jelas.
"Sejak kapan?" tanya Zemira.
"Sejak hari itu. Hari di mana gue jatuh cinta sama seseorang," jawab Erlangga. Raut wajahnya terlihat sedih. Laki-laki itu melirik Zemira.
"Sounds privacy." Zemira menghela napasnya, kemudian berjalan ke arah jendela.
Erlangga terdiam di tempat. Bibirnya menyunggingkan senyuman. Senyuman yang tak dapat dijelaskan artinya.
Ia menoleh ke arah Zemira, lalu berjalan mendekatinya.
"Mau jalan-jalan sebentar?"
***
Namanya Erlangga Radhley Phelan. Saat itu, umurnya masih dua belas tahun saat ia bertemu dengan Zemira Kalila untuk yang pertama kalinya. Mereka berdua bertemu entah karena takdir atau karena kenyataan bahwa keduanya berada di kelas yang sama.
Saat itu, ia belum merasakan apapun. Bahkan, ia tidak peduli dengan sosok Zemira yang saat itu duduk sebangku dengannya. Kalau boleh jujur, saat itu, ia merasa sedikit kesal karena duduk satu meja bersama dengan anak perempuan.
Namun, rasa kesal itu perlahan berubah karena suatu kejadian. Entah karena takdir atau memang murni karena tidak disengaja.
Saat itu, hujan deras mengguyur seluruh kota. Di lobi sekolah, Erlangga tengah menunggu ibunya untuk menjemputnya. Akan tetapi, setelah setengah jam lebih menunggu, sang ibu belum juga menampakkan batang hidungnya.
Erlangga menangis. Saking lamanya menunggu, ia memilih untuk terhanyut dalam pikirannya. Bocah laki-laki itu melamun. Pikiran-pikiran buruk mulai menghantuinya.
Umurnya saat itu memang masih dua belas tahun. Namun, kondisi memaksanya untuk memahami keadaan. Memaksanya untuk menghilangkan sifat manja dan cengeng yang biasanya ada pada anak kecil. Ia jarang sekali menangis. Namun kali ini, ditemani hujan deras, air matanya luruh.
"Yahh, hujan."
Azra menoleh. Ia mendapati Zemira yang tengah menatap langit, menyaksikan tetesan demi tetesan air yang turun hingga tak terhingga jumlahnya. Halaman depan terlihat becek oleh air. Sore hari itu, pos satpam kosong, tidak ada yang menjaga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaukritya
RomanceHarap follow terlebih dahulu sebelum membaca. Dan jangan lupa untuk memberi vote agar saya semakin semangat untuk update ❣️ *** Azra Mahendra, laki-laki itu telah melakukan lebih dari seribu kesalahan kepada Zemira Kalila, wanita yang telah menjadi...