Bab 13: Pengagum Rahasia Erlangga (2)

332 26 0
                                    

Sesampainya di tempat tujuan---yakni cafe yang terlihat sangat mewah dengan tiga lantai, Erlangga dan Zemira segera menaiki tangga. Mereka memilih tempat yang sepi, lantai tiga.

"Lo mau obrolin apa?" tanya Zemira setelah keduanya selesai memesan.

Saat ini, keduanya sedang berbincang seraya menunggu pesanan. Pemandangan yang tersajikan cukup indah karena mereka memilih untuk berada di luar.

"Tentang Ashley dan..." Erlangga terlihat ragu untuk melanjutkan ucapannya.

"Dan?" tanya Zemira yang tidak sabaran, apa lagi ketika nama Ashley disebut, rasa penasarannya semakin menjadi-jadi.

"Pertama, aku minta maaf kalau misalnya ini bakal ngetrigger kamu, oke?" tanya Erlangga yang dibalas anggukan kecil dari Zemira.

"Emangnya mau bahas apa? Cepetan! Gue penasaran!" seru Zemira.

"Kamu inget ga, dulu pernah ada yang jailin kamu sampai kamu ga sekolah selama tiga hari?" tanya Erlangga.

Kening Zemira mengernyit. Ia menopang dagunya dengan tangan. "Kayaknya gue inget deh, Ngga," jawabnya kemudian.

"Ashley, dia pelakunya. Walaupun saat itu ga ada yang tau pelakunya karena semua bukti dihilangkan," ungkap Erlangga. "Dia gila," gumamnya.

"Kenapa gila? Padahal mukanya kayak orang bener." Zemira terlihat tidak percaya akan apa yang Erlangga ucapkan. "Apa buktinya?" tanyanya.

Hening sejenak. Erlangga terdiam untuk memikirkan jawaban yang tepat dan dapat dipahami oleh Zemira.

"Kamu mungkin ga sadar, Zem. Tapi tatapan bencinya pas liat kamu itu ketara banget. Keliatan."

"Terus gimana? Kalau dia ga suka, ya udah. Kalau dia mau macam-macam, gue bakal lawan balik," ujar Zemira dengan santainya.

Dulu, ia memang diam dan tidak membalas karena memang tidak tahu siapa pelaku di balik kesialannya selama di sekolah. Namun kini, ia sudah mengetahui siapa pelakunya.

"Lo yakin gapapa? Gue cuma takut lo kenapa-kenapa." Erlangga menghela napasnya. Wajahnya terlihat frustasi. Pasalnya, ia merasa bahwa Zemira tidak mempercayai ucapannya. "Jangan nilai buku dari sampulnya ya, Zem?" ujarnya kemudian.

Zemira terkekeh pelan. "Kita hidup lebih lama dari remaja yang sebaya dengan kita, Erlangga. Dan gue tau apa yang harus gue lakuin." Zemira merapikan anak rambutnya. Ia membuka tasnya dan mencari ikat rambut, lantas mengikatnya, namun tak tinggi. "Walau tubuh ini---secara biologis masih remaja dan membutuhkan perkembangan, tapi otak dan memori gue masih sama. Gue udah cukup berpengalaman," imbuhnya.

"Oke kalau begitu. Gue cuma ngingetin lo buat hati-hati aja. Takutnya dia malah makin aneh-aneh," bisik Erlangga. Entah mengapa, perasaannya tidak enak sedari kemarin.

Di saat yang bersamaan, makanan yang mereka pesan pun tiba.

Zemira dan Erlangga terkejut bukan main. Keduanya saling pandang selama beberapa detik, kemudian kembali melirik ke arah pelayan yang mengantarkan makanan mereka.

"Selamat menikmati makanannya, Kak!" seru Ashley yang ternyata merupakan pelayan dari tempat yang mereka kunjungi.

Entah apakah gadis itu mendengar percakapan keduanya. Dan jika ia memang mendengarnya, entah sampai bagian mana ia menguping pembicaraan keduanya.

Sepeninggal Ashley, Zemira menelan ludahnya dengan susah payah. Selera makannya hilang. Ia takut jika Ashley menaruh sesuatu ke dalam makanannya.

"Gue ga mau makan deh, tapi mahal," ucap Zemira.

"Jangan dimakan!" seru Erlangga secara tiba-tiba.

"Iya tau, gue juga takut ada racun di dalemnya!" balas Zemira. "Awas! Mending gue foto aja buat story."

"Aku ngelupain hal ini... Kita harusnya ga ke sini!"

Erlangga yang terlihat begitu panik membuat Zemira menaikkan satu alisnya. Ia bingung. Mengapa orang di hadapannya terlihat seperti baru saja kehilangan kartu hitam?

"Why exactly?"

"Dulu, semenjak aku diikuti dan distalk sama seseorang selama berminggu-minggu, entah karena kebetulan, Ashley kerja di tempat ini."

"Terus? Mungkin dia butuh uang 'kan?" Zemira menatap heran ke arah Erlangga. "Eh... Tapi dia berkecukupan 'kan? Keluarganya cukup kaya."

Erlangga mengangguk. "Dan cafe ini adalah cafe yang sering banget aku kunjungi. Maaf... Kebiasaan aku buat ke sini ga berubah. Kita harusnya pergi ke tempat lain." Erlangga menundukkan kepalanya.

Zemira menghela napasnya. "Ya udah. Gak apa-apa. Makanannya kita bungkus aja gimana?" tanya Zemira.

"Kok dibungkus? Kamu mau keracunan karena makan itu?!" Erlangga berseru.

"Siapa bilang bakal aku makan?" Zemira menarik bibirnya. Ia berbisik dengan suara yang hanya dapat didengar oleh Erlangga. "Aku cuma mau main-main sama Ashley. Mari kita buktikan bahwa dia benar-benar lugu atau..." Zemira memberi jeda pada kalimatnya, "...atau dia sebenarnya ular berbisa?" lanjutnya.

***

Erlangga menatap kosong langit-langit kamarnya. Namun, pikirannya melayang entah ke mana. Dan hatinya terasa porak-poranda.

Rasa khawatir, takut, dan bangga bercampur menjadi satu. Ia khawatir jika terjadi sesuatu kepada Zemira dan takut jika nyawanya melayang untuk yang kedua kalinya karena Ashley. Namun di saat yang bersamaan, ia merasa bangga karena perempuan tersebut sangat mandiri dan percaya pada dirinya sendiri.

Tapi tetap saja, rasa takut dan khawatirnya mengalahkan rasa bangganya terhadap perempuan itu!

Mendengus kesal, Erlangga meraih ponselnya yang berada di meja nakas. Tanpa perasaan ragu, ia menelpon Zemira.

Panggilan langsung tersambung, membuat Erlangga sedikit terkejut.

"Loh, diangkat?" gumam Erlangga.

"Lo berharapnya ga diangkat gitu?" tanya Zemira dari seberang sana.

"Eng-engga gitu!" seru Erlangga. Wajahnya memerah. Ia benar-benar terlihat seperti gadis remaja yang baru saja memasuki masa pubertas, kemudian jatuh cinta kepada laki-laki impiannya.

"Mau ngobrolin apa? Gue sibuk nih," ungkap Zemira. Nadanya terdengar lebih ramah dari pada sebelum-sebelumnya.

"Aku ganggu?" Erlangga memeluk gulingnya. Diam-diam, ia tersenyum senang.

"Ga juga sih. Tumben aja. Kenapa tiba-tiba nelpon?"

"Kangen," cicitnya.

"Apa? Suara lo putus-putus."

"Aku kangen."

"Kenapa kangen?"

"Ga tau." Erlangga menggelengkan kepalanya, yang tentu saja tak dapat dilihat oleh Zemira.

"Tidur aja sana! Udah malem. Udah ya? Bye!" ujar Zemira, terdengar terburu-buru.

Panggilan diputuskan secara sepihak. Namun, percakapan singkat yang terjadi membuat Erlangga sangat bahagia.

Benar-benar seperti remaja perempuan yang baru saja menemukan cinta sejatinya.

Namun naas, tak lama lagi, akan terjadi sesuatu kepada sang pujaan hati.

Kebahagiaan yang ia rasakan hanya bersifat sementara.

Karena sebentar lagi, masalah selanjutnya akan tiba.

***

Kritik dan saran >>>

What is your thought about this chapter?

Kaukritya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang