Bab 15: Bigger Problem

304 23 1
                                    

Zemira menatap kosong catatan di hadapannya. Meski demikian, pikirannya melayang jauh ke atas langit. Spekulasi buruk—satu persatu mulai memasuki pikirannya.

Menghela napas panjang, ia kembali mencatat materi yang ada di papan tulis. Walaupun sedikit malas, ia tetap melakukannya.

Di sisi lain, Erlangga sedang meladeni Cello. Keduanya duduk bersama, namun anehnya sering bertengkar dan beradu mulut, membuat guru yang mengajar akan mengomel dan menghukum keduanya untuk pergi keluar kelas.

Seperti saat ini. Cello yang sedari tadi menggoda Erlangga dengan wajahnya yang tengil itu membuat Erlangga naik pitam. Perdebatan kecil terjadi di antara keduanya, menyebabkan mereka ditendang keluar oleh guru mata pelajaran bahasa Sunda.

“Lo sih!” celetuk Cello. Ia mendumal dan mengomel tidak jelas.

“Yang mulai duluan siapa, gue tanya? Lo kan? Salah lo berarti!” balas Erlangga yang sama emosinya.

“Lo baperan! Digituin doang marah. Apa lagi kalau gue tikung? Mungkin lo bakal ngehancurin ni sekolah.” Cello membuang mukanya.

Erlangga menarik napasnya dalam-dalam, menahan emosi yang hampir membeludak sepenuhnya karena makhluk menyebalkan di hadapannya ini.

Jika saja membunuh orang lain tidaklah dosa dan tidak terhalang oleh hukum, maka Erlangga sudah melakukannya sekarang. Meskipun begitu, ia tetap menyayangi Cello. Sebagai sahabat tentunya!

“Terserah lo deh. Debat sama kacung kayak lo bikin kepala gue pening.” Erlangga mengusap-usap dadanya, membuang amarah—yang sejak setengah jam lalu—bersemayam di dalam hatinya.

Di saat yang bersamaan, ponsel Cello dan Erlangga berbunyi. Mereka berdua saling lirik. Entah mengapa, keduanya memiliki firasat buruk.

“Lo yang cek duluan dong, Bos. Hehehe...” Cello tertawa renyah. Yang awalnya mengomel seperti ibu-ibu komplek, kembali menjadi tengil. Ditambah senyumannya yang membuat siapa pun ingin menghajar wajahnya.

Erlangga hanya mengangguk singkat. Dengan cepat, ia meraih ponsel yang ia letakkan di dalam saku celananya.

Mata Erlangga menyipit. Orang yang meneleponnya adalah nomor yang tak tersimpan, nomor tak dikenal.

“Siapa?” Cello ikut menatap layar ponsel Erlangga, lalu mengambil ponselnya sendiri dari dalam saku celana. “Nomornya beda. Apa cuma kebetulan?” gumam Cello yang dapat didengar oleh Erlangga.

“Ayo pergi,” ajak Erlangga yang sudah berjalan terlebih dahulu, meninggalkan Cello beberapa langkah.

"Eh, tungguin!” serunya, kemudian menyusul Erlangga yang berjalan beberapa langkah di hadapannya. “Kita mau ke mana, Erlangga?” Suara Cello terdengar serius, dan raut khawatir terlihat dengan jelas.

“Panggil yang lain,” ujar Erlangga. Ia menghiraukan pertanyaan Cello. “Firasat gue ga enak.”

***

Zemira menumpu dagunya. Ia keheranan melihat Azra yang tiba-tiba saja izin keluar kelas dengan terburu-buru.

Awalnya, gadis itu tak menghiraukannya. Dia kembali fokus pada catatan tugas di hadapannya.

Namun, tak lama berselang, sekitar empat puluh menit kemudian, seseorang meneleponnya. Ponselnya berbunyi dan bergetar.

Zemira tersenyum pahit seraya menatap ke arah gurunya. “Saya izin angkat telepon dulu ya, Bu? Takutnya penting,” kata Zemira.

Dibalas oleh anggukan, Zemira segera keluar dari dalam kelas. Ia duduk di salah satu kursi yang ada di depan kelasnya.

“Halo?” kata Zemira.

Kaukritya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang