Bab 5 : Faint

609 54 1
                                    

"Pagi, Ma, Pa!" Zemira berseru, cukup kencang sehingga membuat orang tua dan pelayan yang tengah membersihkan rumah segera menengok ke arahnya.

"Pagi juga anak Mama yang cantik jelita." Greta tersenyum lembut, menanggapi seruan selamat pagi dari putrinya.

"Semangat banget kamu hari ini?" tanya Willy, lantas terkekeh pelan.

Zemira duduk di kursi meja makan. Ia mengambil satu helai roti lalu mengoleskan selai coklat favoritnya. Setelahnya, ia membuka mulutnya lebar-lebar dan memasukkan roti itu sekaligus ke dalam mulutnya.

"Aku mah semangat setiap hari," jawab Zemira sembari mengunyah roti.

Greta dan Willy hanya menggeleng-geleng pelan melihat kelakuan putrinya---yang semakin hari semakin unik saja.

"Kamu jadi ikut ekskul lukis?" tanya Willy. Pria paruh baya itu telah menyelesaikan sarapannya. Kini, ia tengah mengelap mulutnya dengan sapu tangan.

Zemira mengangguk pelan. Kali ini, bukan roti yang dikunyahnya, melainkan salad buah yang pelayannya siapkan untuknya.

"Ekskulnya setiap hari Rabu. Berarti hari ini aku ekskul, pulangnya jadi agak telat, gapapa 'kan?" tanya Zemira.

Willy dan Greta saling pandang. Beberapa saat kemudian, keduanya mengangguk, setuju.

"Gapapa, Zemira." Greta tersenyum hangat. "Dari pada kamu di rumah ga ngapa-ngapain?" tambahnya.

"Kamu makannya udah belum? Ayo kita berangkat, Zemira," ujar Willy.

"Wait wait." Zemira menelan makanan yang ia kunyah, kemudian meminum segelas susu. Setelah selesai dengan sarapannya, ia mengangguk. "Ayo berangkat."

***

Berjalan di lorong sekolah, Azra mendapati bisikan-bisikan dan ejekan-ejekan yang dilontarkan kepadanya. Laki-laki itu hanya dapat menundukkan kepalanya. Ini sudah menjadi makanannya sehari-hari.

Sedari dulu, Azra memang selalu dirundung. Dirundung karena latar belakang keluarganya yang kurang mampu. Ia miskin. Walaupun demikian, wajahnya cukup tampan. Akan tetapi, perempuan mana yang mau dengan lelaki tampan namun miskin?

Zemira tentu saja. Perempuan itu mencintai Azra bukan dari latar belakangnya. Bukan juga dari sifatnya, apalagi parasnya. Zemira mencintai Azra tanpa syarat. Ia tulus. Rasa itu tiba-tiba tumbuh seiring berjalannya waktu. Dan hal itu mungkin dipicu oleh hubungan persahabatan keduanya yang dulu cukup dekat.

Saat Azra dirundung, Zemira tak segan-segan untuk melawan orang yang merundungnya. Sedari sekolah menengah pertama, Zemira selalu ada untuk Azra, menemaninya dengan sepenuh hati.

Apakah Zemira malu memiliki pacar seperti Azra? Jawabannya tentu tidak. Walaupun ejekan dan cemoohan ia dapat karena memiliki laki-laki seperti Azra, Zemira tidak pernah malu. Ia percaya bahwa dengan memiliki Azra, ia memiliki kekuatan dan mental yang kuat. Apapun bisa ia lakukan dengan memiliki Azra.

Namun, kini semuanya berbeda. Tak ada lagi Zemira yang melindungi Azra dari ejekan dan cemoohan. Tak ada lagi Azra yang menjadi sumber kekuatan dalam hidup Zemira. Semuanya telah berubah 180°.

Ignore them, Azra. Ignore... batin Azra. Ia menyemangati dirinya sendiri sedari tadi.

Entah mengapa, orang-orang yang mengejeknya kini bertambah semakin banyak. Awalnya, Azra mendengar kata-kata yang paling sering ia dengar, yakni, "Halah, palingan dia pelet si Zemira," dan "Azra cuma hoki dapet cewek kayak Zemira. Kalau ga ada Zemira, ga ada cewek yang mau sama dia." Namun kali ini, ada kalimat yang membuatnya terdiam membeku.

Kaukritya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang