Bab 12: Pengagum Rahasia Erlangga

374 25 0
                                    

"I-ini buat kamu Kak!" seru Ashley. Kepalanya menunduk malu dengan kedua tangan terulur ke depan, memberikan sebuah amplop dengan bentuk hati di tengahnya.

Kantin yang semulanya sepi tiba-tiba menjadi sangat ramai. Hampir semuanya menatap Erlangga dan Ashley yang berada di tengah-tengah kantin.

"Maaf, tapi ini apa?" tanya Erlangga dengan wajah datarnya sembari sesekali melirik ke arah surat tersebut. "Gue ga bisa terima kalau ini surat cinta."

Tubuh Ashley rasanya seperti tersengat listrik. Tangannya tiba-tiba saja gemetaran. Wajahnya yang tertunduk mulai mengeluarkan buliran bening, namun beberapa detik kemudian ia angkat untuk menatap pujaan hatinya.

"Kenapa, Kak?" tanya Ashley yang mulai menangis. "Ka-Kakak ga perlu balas rasa cinta aku, tapi seenggaknya terima surat ini!" ujarnya.

"Maaf. Gue bisa nebak keseluruhan isinya, jadi ga bisa gue terima." Dengan acuh, Erlangga melangkahkan kakinya dan meninggalkan Ashley.

"Ta-tapi..." Ashley berlari-lari kecil, menyusul langkah cepat Erlangga.

BRUG!

Tubuh mungil Ashley menabrak punggung belakang Erlangga. Ashley mendongakkan kepalanya. "Tolong terima, Kak," cicitnya.

Erlangga menghela napasnya lalu berbalik. Ia mengambil kasar surat cinta yang berada di tangan gadis mungil tersebut.

"Tapi setelah ini, lo ga usah ganggu gue lagi, paham?" tanya Erlangga.

Mata Ashley kembali berbinar. Secercah harapan terlihat jelas dari binar matanya.

Dengan antusias, Ashley mengangguk cepat. "Iya Kak! Tapi ga janji ya?" ujarnya kemudian berlari keluar dari kantin.

Seisi kantin mulai heboh, terumatama para perempuan. Spekulasi-spekulasi mulai bermunculan, namun tak lebih dari sekadar tebakan.

Erlangga meremat surat tersebut, kemudian membuangnya ke tempat sampah tanpa membacanya terlebih dahulu. Sungguh, ia benar-benar tidak tertarik.

Berjalan ke arah tempat---yang di mana selalu ditempati oleh anggota gengnya, Erlangga segera duduk di samping Cello.

"Gue ga suka sama si Ashley. Kayak cewek menye-menye," cibir Cello dengan tatapan sinisnya. "Baru digituin doang udah hiks hiks terima Kak pleaseee!!" ejeknya yang terlihat jengkel.

"Lo hobi banget julid dah?" tanya Rian, salah satu anggota inti. "Tapi jujur, dia kayak caper banget anjir! Minta dikasihani kali ya? Sok imut banget, jijik gue," tambahnya.

"Ya 'kan? Ngapain juga si Bos nerima suratnya? Ga habis pikir." Cello menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Suratnya gue buang," ujar Erlangga, dingin.

"Bagus! Ga usah lo baca, ga penting! Gue ga setuju kalau lo sama dia!" seru Cello.

"Lo siapa gue? Ngatur." Erlangga sebenarnya hanya bercanda. Namun sepertinya, Cello menganggap perkataannya serius.

"Gue, sebagai wakil ketua dua, ga nerima Ibu Negara yang menye-menye kayak si Ashley. Dibentak dikit mewek. For your information, gue juga cuma ngingetin lo!" Cello mendegus sebal, membuat seisi meja tertawa terbahak-bahak.

"Kalau lo cewek, lo udah gue pacaran, Cel! Lo gemes banget soalnya," ucap Deni.

"NO! Gue ga sudi pacaran sama lo! Lo pelit!" balas Cello sembari menggerakkan telunjuknya ke kanan dan kiri.

"Kalau gue ga pelit, lo mau gitu?" tanya Deni yang masih tertawa.

"Mau dong." Jawaban yang Cello berikan membuat seisi meja yang tadinya ramai oleh gelak tawa menjadi sunyi.

"Lo sehat?" Meylinda yang duduk di samping Cello memegang kening laki-laki tersebut. "Ke psikolog yuk, Cel? Kayaknya ada yang salah sama otak lo."

"Dih? Kenapa? Cinta itu ga mandang jenis kelamin," ujar Cello. Ia mendramatisir kalimatnya.

"DOSA GEBLEK!" Meylinda memukul bagian belakang kepala Cello, tidak terlalu keras namun cukup untuk membuatnya meringis pelan.

Di tengah kehebohan meja tersebut, Erlangga hanya diam sedari tadi. Ia menerka-nerka perempuan yang baru saja memberinya sepucuk surat cinta.

Rasa curiganya semakin bertambah.

Apakah perempuan yang akhir-akhir ini mengikutinya adalah dia? Apakah perempuan yang akhir-akhir ini memberikan surat di bawah kolong mejanya adalah dia?

Kemungkinan-kemungkinan buruk mulai bermunculan di dalam kepalanya. Radarnya seolah merasakan sesuatu yang berbahaya dari perempuan tersebut.

Dan benar saja. Dugaan dan rasa curiga yang ia taruh pada perempuan itu tidak salah.

Beberapa hari kemudian, setelah ia curhat kepada Meylinda mengenai Zemira, sang pujaan hati mendapat musibah.

Pada hari pertama, Zemira dikunci di dalam bilik toilet dengan lampu yang dimatikan. Hal ini pun memicu phobianya terhadap kegelapan.

Pada hari kedua, tas Zemira raib, menghilang entah ke mana. Teman sekelasnya mengatakan bahwa ada seseorang yang masuk ke dalam kelas dan mengambilnya dengan alasan disuruh oleh sang pemilik. Saat mengecek kamera CCTV dan menanyai pelaku, sebenarnya gadis itu tidak disuruh oleh Zemira untuk mengambil tasnya. Hal ini terbukti dari tas Zemira yang ditemukan di dalam tempat sampah yang berada di taman belakang. Saat ditanyai, ia menjawab bahwa ia disuruh oleh seseorang untuk membuang tas Zemira. Dan jika tas tersebut telah berada di dalam tempat sampah, orang tersebut akan mengiriminya sejumlah uang. Dan orang yang menyuruhnya masih tidak diketahui identitasnya karena nomor yang digunakan untuk mengirim pesan sudah tidak aktif dan tidak dapat dilacak.

Pada hari ketiga, Zemira yang ketakutan memutuskan untuk tidak pergi ke sekolah untuk sementara waktu.

Mengetahui berita tersebut, Erlangga mengetatkan rahangnya. Ia berasumsi bahwa yang melakukan hal tersebut adalah orang sama yang telah membuntutinya.

Orang tersebut adalah Ashley Janetya. Perempuan yang menggunakan wajah lugunya sebagai sampul untuk menutupi sifat aslinya.

***

"Gak apa-apa nih gue balik sama lo?" tanya Zemira. Ia sedari tadi hanya menatap motor milik Erlangga.

"Takut kamu kenapa-kenapa," jawab Erlangga seraya tersenyum tipis. "Mau mampir ke cafe dulu ga? Ada yang mau aku omongin." Wajah Erlangga terlihat serius.

"Boleh, kalau lo ga keberatan."

Zemira hendak menaiki motor Erlangga. Namun, melihat roknya yang hanya memakai celana pendek sebagai dalaman, ia mengurungkan niatnya.

"Gue tau ini kayak adegan klise di kebanyakan novel remaja. Cuma..." Erlangga melepas jaketnya, kemudian mengikatnya agar menutupi paha Zemira. "Ternyata baca novel tuh ada gunanya ya?" Erlangga terkekeh sendiri, kemudian kembali ke atas motornya.

"Lo suka baca novel?" tanya Zemira. Ia menaiki motor Erlangga yang cukup tinggi.

Erlangga menyalakan mesin motor, kemudian segera meninggalkan area sekolah tanpa menjawab pertanyaan Zemira.

"Dih, pertanyaan gue ga dijawab," sindir Zemira.

"Maaf ya, Zem. Aku ga bawa helm tambahan. Dan iya, aku suka baca novel," jawab Erlangga. Namun karena angin, suaranya terdengar samar.

"Apa?" Zemira meninggikan suaranya. Karena ia sendiri pun tak dapat mendengar suaranya.

"Maaf ya, Zem. Aku ga bawa helm tambahan! Dan aku suka novel, tapi aku lebih suka kamu!" teriak Erlangga dengan tidak tahu malunya.

Wajah Zemira memerah. Dengan sebal, ia mencubit tangan laki-laki yang sedang memboncengnya itu.

"Gila ya lo?!"

"Iya, aku gila karena kamu. Jadi kamu harus tanggung jawab Zemira!"

***

Kritik dan saran >>>

What is your thought about this chapter?

Kaukritya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang