7

228 27 4
                                    


Orang asing yang Ary terima dengan baik kehadirannya, ternyata punya andil besar dalam memporak-porandakan keluarganya.

Berawal dari persahabatan yang Diaz jalin dengan tulus--Bram justru menusuknya dari belakang, orang yang Diaz anggap sahabatnya itu ternyata mampu dengan tega merebut istrinya sendiri. Bram bahkan sampai hati memperlakukan Sena seperti ini, entah bentuk cintanya pada Ine itu seperti apa sehingga dengan tega perlahan-lahan menghancurkan orang terkasih wanita itu satu persatu. Tipu muslihatnya sampai-sampai mampu membuat Ine buta. Jika seperti ini, Ary yakin Bram tak benar-benar mencintai Mamanya, iblis sepertinya hanya bernafsu memiliki Mamanya.

Setelah mengetahui ini semua, Ary pikir orang seperti Bram memang tak memiliki urat malu, dan betapa bodohnya dia menganggap Bram sosok pribadi penyayang, kepala keluarga yang bahkan lebih mengayomi ketimbang Diaz-Papanya sendiri.

Langit senin sore kali ini sedikit lebih jingga dari biasanya, sejak 4 jam yang lalu Ary masih duduk terdiam di teras rumah, tanpa memiliki niat sedikitpun untuk beralih dari posisinya saat ini, menghadapi semua fakta ini membuat pikirannya terombang-ambing kesana kemari.

"Waktu itu gue ngga nyari tau, Mama yang nangis hebat pas tau penyakit Sena bukan nangis karena sekedar tau, tapi karena Limfoma Sena udah masuk stadium lanjut dan Sena terus sembunyiin sakitnya sendiri"

"Pengobatan Sena yang telat dan entah kayak gimana cara Papi treat Sena, gue yakin Papi ngga akan baik dan setulus itu disaat ngga ada Mama, lalu gue? Dhian? Dengan santainya ngga peduli dan ga mau tau,"

Ary mendongakkan kepalanya, bibirnya terbuka beberapa kali untuk menghela nafas, sesak. Angin semilir menyapu wajahnya yang memanas, air matanya dia usap kasar ketika atensi seseorang terlihat dari sudut penglihatannya.

"Kenapa Lo? Nangis?"

Itu suara Sena, lantas dengan lugas Ary menjawab tidak

"Gue ngelamun tau-tau ini mata perih, eh keluar air mata, setetes doang, gue ga nangis."

"Ya, ya, ya, ga usah di perjelas gitu dong kalo habis nangis, Lo gugup gagu begitu makin keciri tau ga?"

Senyum tipis Sena yang jahil saat ini tak tampak menyebalkan bagi Ary, Ary justru tersenyum cerah menanggapinya, Sena yang mengajaknya berbicara lebih dulu seperti ini tak boleh di sia-siakan.

"Bentar lagi UAS, masih berani bolos aja ternyata Lo ya?"

"Pusing gue belajar mulu, mau jadi chef aja gue," sudut bibir terangkat tipis, siap menanggapi omongan Sena dengan senang hati. Entahlah, untuk saat ini hatinya ragu untuk membahas itu disaat melihat Sena yang kali ini tengah membuka ruang.

"Masakan Lo begitu lebih cocok jadi art aja gue rasa"

"Sembarangan! Nanti kalo gue tiba-tiba ikut MasterChef terus juara, Lo lepehin itu omongan yee, mana ada art ganteng kayak gue"

"Ngomong-ngomong, tentang pagi itu ... gue minta maaf, ya," ucap Sena ragu-ragu, melipat bibirnya kedalam dengan sorot mata yang menatap ke segala arah.

Ary terkekeh, dia mengangguk cepat tentu saja.
"It's okay, kalo ada hal yang ganggu pikiran Lo, Lo bisa jujur ke gue ataupun Dhian mulai sekarang" ujar Ary.

Yang lebih tua beberapa menit itu berdiri bersandar pada pilar rumah yang kokoh, tangannya ia masukkan ke dalam kantung celana abu-abunya, sementara itu Ary masih setia duduk-mengobrol dengan mendongak sampai lehernya kenceng sekalipun tidak masalah, selagi Sena merespon pembicaraan mereka, Ary jabanin.

Tas ransel hitam yang Sena gendong disebelah bahu dia lepas lalu dilemparkan ke arah Ary,

"Lo kek gini lagi ngga ada maunya, kan? Aneh aja gitu, setelah sekian lama" heran Sena.

The Past For The Future Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang