12

210 31 12
                                    

"Ma, aku pulang ya."

"Iyaa hati-hati ya sayang,"

"Naik apa? Mau pake mobil Papa aja ga? Sekalian bareng Dhian, Dhian juga belum pulang kan dari semalem," Diaz menawarkan dengan senang hati, menatap bergantian pada kedua anaknya yang tak kunjung buka suara. "Gimana? Iya? Ini kuncinya, kalian pulang bareng ya"

"Aaa—ayok... Kalo Lo mau," Ary berucap ragu-ragu seraya melempar pandang pada Dhian. "Gue juga ga balik kesini lagi, nanti Lo yang bawa balik mobilnya" lanjut Ary sembari tangannya memainkan kabel charger ponsel miliknya. Sesekali dia juga melirik Sena yang berbaring lemas di ranjang pesakitan-nya, hanya kelopak matanya saja yang membuka-tutup perlahan, nafasnya begitu pelan, cenderung lambat namun teratur.

"Kalo gitu aku ikut pulang ya, Pa, Ma, Om." Ujar Dhian seraya membereskan barang-barangnya,
Dhian memang tak begitu suka berada di rumah sakit, aroma antibiotik dan obat-obatan, juga suasananya yang ramai namun mencekam slalu berhasil membuatnya tak betah berlama-lama disini.

Sementara Dhian membereskan laptop serta berkas-berkasnya yang berserakan di meja lalu memasukkannya ke dalam tas gendong miliknya, Ary setia menungguinya dengan sabar.

Tak berselang lama suara batuk Sena lagi-lagi membuat Ary curi-curi pandang terhadapnya. Rupanya hanya adegan minum saja mampu membuatnya batuk-batuk seperti itu. Diaz yang tadinya duduk di sofa sampai mendekat membantu Ine membersihkan area leher dan dada Sena yang basah.

"Maafin mama ya, sayang, hmm.." ucap Ine seraya mengusap kepala Sena yang tertutup beannie berwarna hitam. Sementara Diaz kembali memasang masker oksigen Sena, lelaki itu juga memberi alas sementara pada baju bagian dada Sena yang basah dengan dua lembar tissue.

Entah kenapa hati Ary sedikit tercubit melihat mereka yang memperlakukan Sena seperti ini. Bukan... Bukan karena merasa iri, hanya saja sakit rasanya melihat Sena yang lemah seperti itu.

.

Suasana di dalam mobil hanya terisi oleh bisingnya kendaraan di luar. Baik Dhian maupun Ary keduanya tak ada yang berminat membuka suara barang sekecil apapun.

Ketika mobil sudah memasuki halaman rumah, Dhian berdehem beberapa kali, seperti hendak buka suara, namun sampai mereka sama-sama masuk beriringan ke dalam rumah pun tak ada pembicaraan diantara mereka.

Ary merasa bimbang saat berada di dalam kamarnya, badannya bergerak gelisah. Mendengar pembicaraan Dhian dengan Papa semalam entah kenapa Ary merasa marah. Dia menepuk pahanya berulangkali seraya menggigit bibir bawahnya, berusaha mengalahkan ego-nya kali ini Ary lantas berdiri melangkah keluar dengan tenaga penuh menekan engsel pintu kamarnya, ditarik kuat hingga pintu itu terbuka dan menghantam tembok.

"Ardhian! Keluar Lo!" Teriak Ary di sela titihan tangganya. Langkahnya keras beradu dengan lantai tangga yang menurun.

Melihat Dhian yang keluar dari kamar dengan stelan rapih, Ary lantas menerjangnya dengan sebuah pukulan telak.

Dhian memegangi hidungnya yang terasa sakit, bau anyir darah terasa sontak ia mengusap lubang hidungnya yang terasa basah.

"Gaya Lo anjing! Baru jadi dospem aja udah berasa kek ngurus negara. Semalem juga itu apa maksud Lo, hah?! Lanjut S2 di luar negeri? Di Indonesia juga banyak kampus bagus dan elit, bangsat!"

Kedua alis Dhian hampir menyatu, merasa aneh melihat Ary yang tiba-tiba saja memarahinya seperti ini. Dhian sebenarnya bisa saja melawan, namun melihat Ary yang bak kesetanan——dari pada urusan makin panjang, dia akhirnya memilih diam saja.

The Past For The Future Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang