8

203 29 6
                                    

"Berangkat ga nih kita?" Moren membuka suara tatkala bangun dari tidur dan langsung disuguhkan Gaga yang tengah mengenakan baju pramuka.

"Berangkatlah! Gue sendirian tauk, dua hari kalian ga ada." Keluh Gaga yang merasa sepi di sekolah, setelahnya lelaki itu beralih pada Ary yang tengah bersandar pada tumpukan bantal yang ditata sedemikian rupa. "Masuk yuu? Ngga kangen sama Bu Beby apa Lo?"

"Gue mah berangkat, surat ijin kita juga udah hangus, dari kemaren udah dihitung bolos kita tuh" kata Desta.

Sejak pulang dari Bali, mereka berempat memang tidur di rumah Moren. Dua hari mangkir dari sekolah, hidupnya hanya bermain game, makan, dan tidur.

"Lo ga mau bikin perhitungan sama si Brian, Ry?" Tanya Desta, Moren dan Gaga kontan menoleh menunggu jawaban baik, pasalnya tangan mereka sudah gatal ingin menghantam wajah menjengkelkan Brian.

"Kalian aja yang berangkat. Besok Sabtu, tanggung, gue berangkat ntar Senin aja"

Helaan nafas pasrah kompak, ketiga temannya kontan membuang muka, jengah.

°°°

Deretan buku tertata rapih, rak-rak nya menjulang tinggi, lalu lalang murid disini yang dari pandangan pertama saja mampu memberikan kesan pintar dan teladan——Ary merasa seperti masuk ke dalam dunia lain, dia merasa begitu kotor berada diantara mereka dengan pakaian urakan seperti ini. Celana coklat Pramuka pensil, baju yang dikeluarkan dengan kancing teratas yang terbuka menampilkan tulang selangkanya, rambut mullet yang mulai gondrong, Ary bahkan tak sadar kerah bajunya tak terlipat rapih.

Namun begitu langkahnya pasti memasuki area perpustakaan, dengan gesit tangannya perlahan memasukkan baju ke dalam celana tanpa peduli ada yang memperhatikan. Pandangannya berkelana ke segala arah mencari presensi Dhian.

Dan, ketemu! Ternyata di belakang sana, di samping jendela, dimeja bundar Dhian duduk sendirian diantara meja-meja lain yang kursinya penuh terisi.

"Udah gue bilang, jangan masuk dulu. Muka Lo tuh kek tukang maling ayam di keroyok masa tau ga,"

Dhian melirik sekilas, tangannya kembali membalik halaman buku yang tengah ia baca.

"Udah makan belum Lo?" Ary kembali bersuara

"Ga laper"

"Lo berangkat gara-gara takut gue ribut sama Brian?"

"Ga juga," ujar Dhian. "Gue ga mau ada hal buruk menjelang kelulusan nanti. Waktu Lo juga ngga banyak disini"

"Bagaimanapun, gue yang ini tuh lebih tua dari Lo, Dhi. Gue dulu yang ngga sempet bales dan ngelindungin Lo, gue pikir ini waktunya. Tau Lo ditindas begini—apalagi penyebabnya itu gue, masa iya gue diem aja."

"Inget tujuan Lo, Ry." Ujar Dhian dingin, sorot matanya tajam, mendongak menatap Ary.
"Jangan banyak tingkah. Cukup fokus ke Sena aja, jangan gede-gedein masalah sepele kayak gini" lanjut Dhian, Lelaki itu membenarkan kacamatanya lalu menghela nafas berat, bahunya luruh namun rahangnya senantiasa mengeras tanda tak suka dengan pembahasan ini.

Ary mendesah kasar, duduknya gusar, menepuk pahanya beberapa kali lalu berdiri secepat kilat hingga kursi yang tadi di dudukinya berderit mundur.
Ary menggebrak meja pelan, menumpukan badannya pada tangan yang masih berada diatas meja, bibirnya terlipat kedalam menelan kembali kalimat yang akan dia lontarkan, membuang nafas panjang guna meredam emosinya. Ary menggaruk pipinya yang gatal, lantas tersenyum kecut pada Dhian yang sedaritadi memperhatikan gerak-geriknya.

Senyumnya menampilkan deretan gigi putihnya, Ary lantas berucap,
"Ikut gue yuk? Gue pesen cuanki belum kesentuh, takutnya ditinggalin Sena sama temen-temennya gara-gara gue kelamaan"

The Past For The Future Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang