16

216 32 13
                                    

Langit cerah diatas sana warna biru dan putihnya tampak serasi, awan-awan bergumpal indah berarak perlahan, sinar mentari yang terik tak terasa membakar kulit sebab sepoi-sepoi angin membuatnya hangat walaupun tak berteduh dipohon rindang. Cuaca yang cukup baik nan cerah disaat hati Aryyan dilanda guruh amarah. Kaki jenjang itu berjalan tunggang langgang melewati lorong menuju pintu apartemen ayah tirinya, menekan nomor pin apartemen Bram beberapa kali, emosi yang membumbung tinggi membuat jarinya meleset menekan nomor yang salah berulangkali.

Sampai akhirnya pintu berhasil terbuka. Ine dan Bram yang tengah menikmati sarapannya di meja makan tampak tengah tergugu dengan raut bahagia saling melempar candaan. Ary berdiri dihadapan mereka seraya mendorong ponselnya ke hadapan Bram, sebelumnya ia sempat menekan play pada video yang akan diperlihatkannya itu.

"Ini di edit Ry, itu—itu bukan Papi" gugup Bram seraya menahan membawa ponsel Ary menghindari Ine yang ingin turut menonton video yang Ary sodorkan.

"Edit-edit, edit dari Hongkong!"

Ary menarik kerah kemeja Bram hingga si empunya berdiri disambut suara Ine yang meneriakkan nama Aryyan. Wanita itu tentu terkejut dengan perlakuan anak bungsunya di pagi yang cerah ini.

"Muka dua Lo taik!" Karena tak mampu menahan emosinya, Ary mengepalkan tangannya, melepaskan hantaman kuat pada wajah Bram se-kali. Lelaki paruh baya itu jatuh ke samping, Ary menarik ponselnya dari genggaman Bram dengan kasar.

"Arryan, apa-apaan kamu!" Teriak Ine berdiri dari kursinya hendak menghampiri Bram, "Gausah Ma."

Ary sekali lagi menahan Ine yang hendak meraih Bram. "Aku bilang gausah, ya gausah Ma! Liat ini." Nada bicara Ary meninggi kemudian dia menyerahkan ponselnya.

Ine akhirnya menonton video berdurasi 3 menit itu. Sorort matanya seketika menatap Bram penuh luka, Bram yang mulai berdiri bersiap memberi penjelasan sekarang Ine tampak enggan, langkah wanita itu mundur menghindar.

"Aku ngga maksud gitu, sayang. Aku... Aku——"

"Keterlaluan kamu Mas! Kamu perlakukan Sena seperti itu dibelakang aku?"

"Aku berpikir hal ini bakal ganggu acara spesial kita, aku ga berniat gitu ke Sena Ne ..."

"Ganggu? Ganggu kamu bilang mas?"
"Kamu paksa dia sembunyiin penyakitnya. Kamu tutupin semuanya dari aku, kamu buat aku jadi ibu yang jahat Mas. Kamu cuman mau aku dan ga peduli sama anak-anak aku, ternyata, kamu bohong, jahat kamu egois mas..."

"Jangan buta mata Ma. Sedari awal dia memang orang ga baik. Mama pikir lelaki yang rebut istri sahabatnya sendiri itu pantas disebut baik? Sekarang Mama punya dua pilihan. Pilih dia atau anak-anak Mama. Aku udah ngga sudi ngeliat muka dia lagi."

Ine terhuyung ke belakang, tangan kanannya memegangi pinggiran meja makan sebagai tumpuan.

"Kurang ajar kamu! Selama ini emang kamu anggap apa kebaikan saya, Aryyan?!"

"Gue anggep kentut kebaikan Lo bangsat! Udah kebuka mata gue sekarang. Lo ngga sepadan sama Papa, dan Lo juga ngga pantes buat dapetin Mama!"

•••


Ine menelfon Diaz sembari menangis tersedu-sedu. Diaz yang juga mendapat kiriman video dari Dhian lantas menjemput Ine tanpa banyak bertanya.

Ine dengan sendirinya menceritakan pertengkarannya dengan Bram saat di pertengahan jalan sembari menangis, menangisi segala hal. Tentang Bram maupun Sena, tentang kebodohannya lebih memilih tinggal bersama Bram ketimbang anak-anak, ataupun tentang penghianatannya terhadap Diaz.

Ine merasa menjadi orang yang paling jahat saat ini, terlebih disaat Diaz tetap memperlakukannya dengan begitu baik. Tidak memperkeruh suasana dengan menjelek-jelekkan Bram dan tidak juga memandang benci padanya, yang Diaz lakukan hanya menenangkan sewajarnya guna menjaga batasan atas status mereka saat ini.

The Past For The Future Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang