Where Did You Hide Her Pictures? (2)

20 4 1
                                    

Note: 

Sanggah/Mrajan merupakan tempat pemujaan keluarga sebagai bagi rumah keluarga Hindu dalam keseharian

Canang adalah sebuah persembahan dari penganut Hindu Bali yang sering digunakan dalam kegiatan persembahan sehari-hari oleh umat Hindu. 

Odalan atau Piodalan merupakan upacara peringatan hari lahirnya sebuah tempat suci umat Hindu

Ayah pulang lebih cepat karena janji rapat daring dibatalkan, klien Ayah didiagnosa positif COVID-19

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ayah pulang lebih cepat karena janji rapat daring dibatalkan, klien Ayah didiagnosa positif COVID-19. Dia cuma mampir sebentar ke rumah untuk ganti baju dan minum, aku hanya menunggunya selama tiga puluh menit di ruang tamu, kemudian kami kembali berkendara ke Tabanan.

"Kayaknya makin dekat COVID-nya, ya," celetuk Ayah dalam perjalanan. Hampir satu jam kami berkendara, seingatku hanya perlu satu setengah jam untuk sampai di rumah Ayah di Tabanan, artinya tiga puluh menit lagi kami akan tiba dan tiga puluh menit lagi aku akan kembali bersandiwara.

"Ya, makin banyak," balasku.

"Kita nggak bakal lama di sana, bahaya juga buat Kakek sama Nenek."

Tumben, aku mengernyit di kursi tetapi tetap tidak bersuara.

Pelan-pelan, dari kejauhan mulai terlihat gapura rumah Ayah. Aku cuma menarik nafas manakala mobil bergerak melewati gerbang yang diapit gapura di sisi kanan dan kiri. Tampilan merajan* rumah keluarga nampak meriah, tugu-tugu dibaluti kain wastra berwarna terang, lengkap dengan payung di sisi kanan dan kiri, juga janur dari canang* yang menjuntai dari rongga tugu.

Akan tetapi, penghuni yang hadir nggak sebanyak hari Odalan baiasanya. Hanya terlihat sepupu-sepupuku dan orang tua mereka. Orang-orang heboh sekali melihatku datang, seperti aku baru kembali dari medan perang.

Dua sepupuku langsung merangkul, begitu aku keluar dari mobil. Om dan tanteku menawariku makanan, berbasa-basi soal sekolah dan kegiatanku selama di rumah.

"Gini, dong, sering-sering pulang. Kasihan ayahmu sendirian," Om-ku mengguncang bahuku dengan gemas.

Aku tersenyum masam mendengarnya tapi tetap mengangguk sopan. Kakek dan nenek nggak terlihat di luar rumah, kata salah satu sepupuku, mereka di dalam rumah karena alasan kesehatan.

"Emang gitu, sih sekarang, yang tua-tua nggak usah diajak ke tempat ramai," celetuk Tante Vivi, istri Om Sakti.

Aku sih angguk-angguk saja lalu mengekori Ayah sembahyang di sanggah. Tante Vivi yang membantu Ayah menghaturkan banten, lalu meninggalkan lokasi untuk membiarkan kami berdua berdo'a. Selama sesaat, Ayah cuma bersila dalam diam di sebelahku sedangkan aku menahan diri untuk tidak menoleh ke sisi lain atau ke belakang, tempat Ibu biasa duduk.

Getar ponsel Ayah terdengar dari saku kemeja, dia mengabaikannya sampai berhenti. Aku masih menunggu Ayah memulai do'a, justru dia cuma mendongak pada dedaunan pohon bunga jepun.

Kulihat dia menarik napas dan menegakkan tubuh, aku segera mengikutinya.

Sementara Ayah berdoa dalam suara nyaring, lafalan do'a terdengar jelas di sentero sanggah, aku hanya berdo'a dalam hati. Aku sama sekali nggak bisa berdo'a dengan baik, nggak bisa menyampaikan do'a dalam tata bahasa puitis yang rapi. Memilih tata bahasa saat memohon pada Tuhan, 'kan, memang nggak gampang.

Nama Ibu kupanjatkan berkali-kali, secara khusus. Di akhir do'a, sambil menunggu Ayah menurunkan gelas tirta, aku memerhatikan tugu-tugu dalam sanggah. Bagaimana cara kerja roh di Alam Baka sana?

Aku melihat telapak kakinya lebih dulu. Ayah berdiri di depanku dengan gelas tirta, memercikkan beberapa kali ke kepalaku sebelum aku menadahkan tangan dan menyesap airnya.

Kali berikutnya aku mendongak, Ayah memandangiku lebih lama dari yang seharusnya, ada hari di mana orang bilang mataku mirip Ayah waktu masih kecil tetapi berubah jadi mirip Ibu setelah beranjak lebih tua.

Ponsel Ayah bergetar lagi, pasti urusan penting menunggunya di sisi lain.

"Duluan ke rumah, Ezra," kata Ayah setelah meletakkan wadah tirta.

Di gapura pintu masuk merajan, segalanya masih masuk jarak dengar. Samar-samar terdengar Ayah bicara di telepon dengan nada pelan, nyaris seperti... sungkan atau... menyesal ?

"Are you okay ?" adalah bagian percakapannya yang membuatku berhenti sejenak di ambang pintu. Ujung jemariku terasa dingin, menjalar sampai dada. "Okay, good. I'll call later." Yang ini membuatku berlari ke arah rumah.

"Ezra!" Jeritan Nenek terdengar dari teras. Dia melambai, menjulurkan tangan padaku untuk dipeluk. Kali ini pelukanku singkat saja, Nenek luar biasa patuh pada protokol kesehatan, rupanya.

"Masih sekolah di asrama?" Kakek bertanya dari kursinya di teras.

"Masih, aku 'kan belum lulus," sahutku sambil tersenyum.

"Pindah sekolah, aja. Ngapain jauh-jauh gitu sekolah. Kasihan ayahmu sendirian." Nenek menimpali.

Aku menarik nafas. "Nanggung, udah mau lulus juga."

"Habis lulus nanti, kuliah di rumah aja, ya. Jangan ke Jawa. Kasihan ayahmu." Kalimat yang sama datang lagi dari Nenek, dia berkata sambil mengusap telapak tanganku.

Ini sudah disampaikan berkali-kali: aku diminta pindah sekolah. Aku sampai hafal di luar kepala.

Responku hanya senyuman dan membalas sentuhannya. Aku bahkan nggak mau sekolah di Jawa, aku mau yang lebih jauh dari itu.

Tante Vivi menggiringku ke dapur untuk makan, di sana aku bertemu lagi dengan istri-istri sepupu Ayah. Secara bergilir aku dipeluk, ditepuk-tepuk punggungnya, beberapa dari mereka bertanya kapan aku pulang dan bagaimana sekolahku. Aku mengulang jawaban yang sama, seperti radio rusak.

"Sering-sering pulang, kasihan ayahmu sendirian. Pergi kemana-mana sendiri, di rumah sendiri." Salah satu tante nyeletuk lagi, aku lupa namanya, kalo nggak salah Ratih atau... siapa.

"Aku, 'kan, mesti sekolah," sahutku sopan sambil menyendok nasi, "aku masih di rumah juga, kok."

"Jangan galak-galak sama ayahmu, ya, kasihan." Ini lagi.

"Nggak galak, kan. Ngomongnya biasa aja."

Tante-tanteku tertawa, aku ikut tersenyum. Lalu, Tante Ratih menambahkan. "Baik-baik juga sama teman ayahmu. Waktu itu... kapan hari, tante lihat mereka makan bareng. Kamu baik-baik, ya, biar ayahmu nggak sendirian terus."

Sementara kalimat itu menguar, tante-tanteku kembali tertawa. Pikiranku luntang-lantung dan gerakanku membeku. 

 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The Remains of The DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang