The Booze, The Cigar and The Jewel

15 4 0
                                    


Tengah malam, aku dibangunkan oleh perut lapar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tengah malam, aku dibangunkan oleh perut lapar. Perut yang keroncongan mengalahkan kelopak mata yang berat dan selimut hangat.

Aku menyingkap selimut lalu menegakkan tubuh, samar-samar telingaku menangkap suara gemuruh di balik jendela. Hujan turun di luar sana, mengantarkan udara dingin ke dalam kamar, suasana yang pas untuk kembali tidur namun lapar mengalahkan kantuk.

Di luar kamar, lampu kamar masih menyala, aku pun melangkah pelan agar nggak menganggu tidur Ayah. Setibanya di dapur, meja makan menyimpan sepiring ayam goreng, tempe dan sayur lodeh.

Aku hanya memakan ayam goreng, tempe dan nasi,; meragukan kemampuan perutku menalangi bumbu sayur lodeh. Sambil mengunyah, aku melirik jam dinding, ternyata sudah lewat tengah malam.

"Hai." Ayah menegur dari pintu dapur. Alih-alih masuk, dia hanya menyandarkan bahu di kusen pintu.

"Kukira Ayah udah tidur," balasku, kemudian membawa piring kosong untuk kubersihkan di bak cuci. Ayah mengenakan kacamata, membuatku nggak nyaman melihat wajahnya.

"Ya, bangun karena hujan. Sekalian periksa atap di gudang belakang, dua bulan lalu baru diperbaiki karena bocor."

"Oh? Besar bocornya?" Aku menjengit, baru tahu informasi ini.

"Lumayan." Ayah menduduki kursi kosong di ruang makan. "Kamu tadi tidurnya lebih awal."

Bukan pertanyaan, tapi pernyataan, maka aku hanya mengangguk. Segelas wine itu membuatku kelimpungan, kelopak mata jadi lemas dan rasanya paling enak tidur.

"Tadi pergi ke mana, Ezra?"

"Ke mini market, terus ketemu Mila."

"Kamu nggak seharusnya keluyuran." Ayah menarik nafas.

"Tapi aku nggak betah di rumah." Jawaban itu keluar lebih cepat dari yang kuduga, lebih jelas dari yang seharusnya. Terlalu... kentara.

Di balik kacamata, pandangan Ayah nggak berubah,: datar dan penuh tuntutan.

"Lockdown emang sulit untuk banyak orang," tukasnya.

"Aku cuma keluar sebentar, Ayah. Itu juga nggak jauh, masih di sekitar sini."

"Bukannya kamu tadi ketemu Pak Wayan? Katanya kamu nggak pakai masker."

Pecalang itu. Ooh, ternyata mata-mata Ayah banyak juga. "Maskerku ketinggalan, tapi tadi Mila kasih yang baru."

"Kamu ceroboh."

Ayah juga, aku hanya membatin.

"Duduk." Permintaan mutlak itu keluar, aku menurutinya. Sementara Ayah duduk di ujung meja, aku mengambil posisi di sebelahnya.

Bingkai kacamata yang dikenakan Ayah, bentuknya kotak. Ukurannya medium sesuai dengan ruas mata Ayah, bingkainya juga nggak terlalu tebal, memberi kesan ramah di wajah. Dilihat lebih detil lagi, gagangnya berwarna emas dengan ukiran merk di sisi kanan, menegaskan rentang jumlah uang yang bisa Ayah belanjakan.

The Remains of The DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang