A/N:
Pecalang : polisi adat di Bali yang biasanya menjaga di setiap Banjar (RT/RW)
Seperti biasa, percakapan dalam Bahasa Bali punya terjemahan Bahasa Indonesia dalam huruf tebal.
***
Melihat langit biru sembari menghirup udara di sekitar terasa ilegal. Mungkin karena pembatasan aktivitas dari pemerintah atau karena siaran TV yang menjelaskan secara detil COVID-19 menular lewat cairan, bisa juga lewat sentuhan dan semacamnya. Entahlah, pokoknya aku merasa... melanggar sesuatu.
Bermodalkan dompet di saku belakang celana dan ponsel dalam saku hoodie, aku berlari keluar gerbang. Langkahku melewati rumah para tetangga sampai akhirnya keluar dari gang, jalan raya yang lengang langsung menyambutku.
Rumahku ini lokasinya nggak jauh dari Pantai Sanur, biasanya ramai dilintasi bule-bule dan nyaris tiap malam dentuman lagu pesta kedengeran samar-samar. Aneh sekali melihat segalanya kosong, rolling door pertokoan tertutup rapat, wajah-wajah sendu pramusaji nggak bisa disembunyikan gantungan ornamen restoran.
Rasanya lebih baik begini. Diterpa angin selagi mendongak pada langit biru daripada berhadapan dengan laptop berjam-jam, atau melihat Ayah bersama perempuan asing yang membawakan barang pribadinya ke rumah.
Berdiri sebuah toko pakaian kesukaan Ibu di ruas jalan ini, menurutnya toko ini unik karena memamerkan kegiatan penjahitnya. Mereka punya mesin tenun yang diletakkan di teras, setiap hari ada saja dua atau tiga pekerja yang menenun di sana.
Kali ini terlihat satu penenun di belakang mesin. Perempuan tua mengenakan kain merah dan kaos putih, gerakan tangannya begitu pelan menemani air muka kosong. Pemandangan jadi ganjil karena toko kelontong di sebelahnya masih dikunjungi beberapa pelanggan, aktivitas jual-beli terlihat jelas.
Aku melihat seorang gadis berdiri di depan toko sembari mengunyah kacang. Tanpa sengaja pandangan kami bertemu dan dahinya mengkerut heran, membuatku memalingkan pandangan.
"Halo." Suara laki-laki menegur, membuatku terlonjak kaget. Seorang Pecalang berdiri di sebelahku, memandangiku dengan tatapan heran sekaligus penuh empati.
"Kok nggak pakai masker?" pertanyaan itu menimpaku bagai batu. Polisi adat memang lebih... mengintimidasi, kadang.
Otomatis tanganku menggapai wajah. Oh, shit!
Pantas saja dari tadi aku merasa ringan, sekaligus angin terasa lebih sejuk di wajahku, aku lupa pakai masker.
"P— pak..." aku memutar otak, cari jalan keluar dari denda yang bakal menghabiskan uang jajanku dua minggu. Peringatan ini sudah ramai disiarkan di berita, denda jika kedapatan nggak pakai masker.
"HOI! Maskermu, nih!" suara melengking gadis pemakan kacang menyela dari seberang. "Maskermu ketinggalan di aku!"
Aku nggak kenal dia, nggak pernah ketemu. Kecil kemungkinan dia bicara padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Remains of The Day
Novela JuvenilFather. Son. And A Grave In The Middle of Their House. Setelah Ibu bunuh diri, Ezra luar biasa menghindari rumah dan ayahnya. Bersekolah di asrama telah memberinya kesempatan untuk pergi jauh. Sayangnya, pandemi COVID-19 memaksa Ezra kembali ke ru...