Gila, sesak banget rasanya waktu aku mengeluarkan barang-barang. Aku hampir lupa rasanya berada di kamar sendiri. Suasananya nggak banyak berubah, barang-barangnya masih di tempat yang sama tapi demi Tuhan... aku muak di sini. Ayah jelas udah balik sibuk dengan kerjaan, dia bantu sebentar untuk memasukkan barang lalu pergi lagi.
Makan malam pertama bersama Ayah bukanlah sebuah kemungkinan yang terpikirkan olehku, terutama karena dia masak sendiri. Seingatku, Ayah nggak pandai memasak dan selama ini Ibu adalah koki utama di rumah. Waktu bekerja di Jakarta, Ayah selalu masak sendiri tapi setelah bersama Ibu, dia jadi jarang masak.
Keduanya bertemu di Jakarta sewaktu perusahaan Ayah sedang diaudit. Kala itu Ibu masih bekerja di sebuah kantor akuntan publik dan Ayah sebagai supervisor human resources.
Oh, ya, waktu itu Ibu masih punya pacar. Dulu aku sempat berpikir Ayah semacam orang ketiga dalam hubungan Ibu dan dugaan itu membuat Ayah dan Ibu tertawa, tapi mereka nggak menjelaskan detail juga dan terus tertawa.
Makan malam ini membuatku nggak nyaman. Kami duduk mengapit meja makan; aku di ujung kanan dan Ayah di seberangku, di antara kami adalah kursi-kursi kosong tanpa taplak untuk piring di depannya yang menandakan seseorang akan makan di sana. Satu-satunya suara adalah denting alat makan, TV di ruang keluarga nggak dinyalakan, kalau menyala mungkin suasananya bakal lebih baik; nggak penuh kecanggungan seperti ini.
Aku menyuap sendok ke mulut tanpa jeda. Mulutku harus terus bergerak karena jika nggak, aku cuma bakal memerhatikan kursi kosong.
Suap pertama, isi nasi dan sayur. Suap kedua, daging dan sayur. Suap ketiga, semua lauk kuraup ke mulut.
"Kamu sibuk apa di kamar dari tadi siang?" tanya Ayah.
"Ngerjain commision," balasku sembari meraih gelas minuman. Setelah membongkar barang dan menata pakaian di lemari, aku berkutat dengan sisa commision dan membuat draft desain untuk promosi lagi. Kali ini aku bikin video pendek, baru aku tahu bahwa mengedit video juga memakan waktu lama.
Melihat Ayah yang mengernyit, aku mengkoreksi. "Ngerjain desain."
"Ooh, masih dapat pesanan?"
Aku mengangguk, Ayah nggak banyak ikut campur soal kegiatan desainku dan hanya tahu kadang aku terima pesanan desain. Ibu tahu lebih detil, dia tahu aku bukan hanya mengerjakan desain tapi juga melukis; secara tradisional awalnya, kemudian aku belajar melukis digital.
"Perseorangan atau perusahaan?" Ayah terdengar seperti sedang bicara dengan staf kantornya.
"Ada yang kontrak, ada yang pribadi."
"Oh, kontrak? Sama siapa?"
"Penerbit indie, kadang. Nggak lama, cuma beberapa bulan."
Ayah mengangguk-angguk. Jemarinya memutar-mutar gagang gelas berisi air putih. "Jadi dapat duit tambahan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Remains of The Day
Novela JuvenilFather. Son. And A Grave In The Middle of Their House. Setelah Ibu bunuh diri, Ezra luar biasa menghindari rumah dan ayahnya. Bersekolah di asrama telah memberinya kesempatan untuk pergi jauh. Sayangnya, pandemi COVID-19 memaksa Ezra kembali ke ru...