Prolog: Ibuku Mati Tiga Kali

125 22 2
                                    


Ibuku mati tiga kali. Pertama, saat tubuhnya ditemukan terbujur kaku, keracunan karbonmonoksida. Kedua, pada hari kremasi, tubuhnya dibakar sampai jadi abu kemudian dihanyutkan di laut lepas. Ketiga, ketika Ayah melakukan upacara penyucian di seantero rumah dan melakukan renovasi besar-besaran. Sepanjang upacara aku diingatkan pada apa yang dikatakan ayat dalam kitab soal bunuh diri, bagaimana nasib roh-roh setelah mati dengan cara seperti itu. Orang-orang di sekitarku mengangguk setuju, bersyukur bukan mereka yang bernasib sedemikian rupa.

Orang-orang iba padaku, anak yang ditinggalkan. Mereka berempati pada ayahku, duda yang sekarang sendirian. Status baru membuat Ayah jadi lebih atraktif karena menurut pengamatanku, semua orang lebih sering menanyakan kabarnya apalagi jika memergokinya tertegun di tempat umum sendirian.

Pernah aku dengar, orang menasihati kami agar memaafkan ibuku supaya jalannya dilapangkan. Ibuku nggak pernah bersalah, kenapa ibuku harus minta maaf? Buat apa?

Keluarga ayahku jadi sering menghubungiku, menanyakan kabar dan bagaimana sekolahku di asrama SMA. Kakek dan nenek berkali-kali bilang sebaiknya aku pindah sekolah saja, berhenti sekolah di asrama.

Gagasan sekolah di asrama muncul dari Ibu. Ibuku tumbuh dikelilingi saudara-saudara yang sekolah di asrama juga, bahkan adik Ibu bersekolah di asrama, hanya dirinya saja yang nggak sekolah di asrama karena nggak lulus seleksi. Dulu, ketika gagasan itu ditawarkan padaku, aku nggak keberatan. Aku benar-benar menyukai sekolah di asrama dan pelajarannya menyenangkan untukku.

Akan tetapi, pihak keluarga Ayah nggak berpikir begitu. Kali pertama Ayah cerita bahwa aku akan sekolah di asrama, orang tuanya langsung protes. Mereka mempertanyakan keputusan itu dan menawarkanku bersekolah di sekolah negeri ternama, nggak perlu pusing soal ujian karena namaku bisa 'dititipkan' pada salah satu orang di sana. Aku dengar mereka bilang Ibu ingin menjauhkanku dari rumah dan keluarga, mereka menuntut ayahku untuk memindahkan sekolahku.

Tentu itu nggak dilakukan Ayah, kurasa itu bukan karena Ayah sepakat dengan pendapat Ibu soal kualitas pendidikan akademik dan non-akademik asrama, melainkan karena dia malas berdebat. Ayahku memang begitu, malas berdebat, bahkan kepada orang tuanya dia menjelaskan lebih jauh kenapa aku dikirim ke asrama.

Ayah cuma bilang. "Nggak usah sampai nitip nama. Ezra sudah lulus ujian, tinggal berangkat aja."

Ayah nggak menjelaskan nilai positif yang aku dapat dari tinggal di asrama, bahkan dia nggak mencoba mendukung Ibu saat menjelaskan aku masih bisa pulang ke rumah setiap akhir pekan atau di hari libur sekolah.

Setelah Ibu meninggal, belum ada lewat dua belas hari kematiannya, percakapan soal asrama muncul lagi.

"Di Denpasar juga ada sekolah bagus. Ngapain kamu sekolah jauh-jauh begitu?" Om-ku bertanya di telepon. Aku tahu, dia sedang menyampaikan pertanyaan dari kakek dan nenek. "Kamu nggak kasihan kalau ayahmu sendirian?"

Nggak, tapi tentu aku nggak mengucapkan itu. Aku hanya mendengarkan suaranya di loudspeaker ponsel Ayah selagi Ayah memotong buah di dapur. Semua potongan buahnya nggak seimbang, lebih mirip bongkahan dadu, kelihatan sekali selama ini urusan masak dan dapur selalu diurus Ibu.

"Kamu anak laki-laki, masa jauh-jauh dari rumah."

Ini lagi. Kartu ini lagi yang dimainkan. Anak laki-laki, penerus keluarga, penopang nama keluarga, harus jaga sanggah sebagai pura keluarga tempat kami sembahyang tiap hari.

Ayah nggak mencoba menyela, nggak juga menghentikan kakaknya.

"Sekolah di sana lebih bagus," sahutku.

"Tapi ayahmu sendirian."

Ya, bodo amat dengan itu. Bodo amat. Kenapa sekarang semua jadi soal Ayah? Soal perasaannya dan segala kenyamanannya. Kenapa nggak ada yang bertanya, apa yang selama ini dia lakukan sampai ibuku akhirnya bunuh diri?

The Remains of The DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang