Home Is A Safe Haven? Check Again.

60 10 5
                                    


Aku memerhatikan pointer berkedip di layar laptop, ujungnya menunjuk daftar panjang nama-nama  alumni sekolahku yang menerima beasiswa melanjutkan kuliah di beberapa universitas negeri top dan universitas bergengsi di benua-benua lain

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku memerhatikan pointer berkedip di layar laptop, ujungnya menunjuk daftar panjang nama-nama alumni sekolahku yang menerima beasiswa melanjutkan kuliah di beberapa universitas negeri top dan universitas bergengsi di benua-benua lain. Di bawah foto mereka juga terlihat profesi yang mereka lakoni setelah lulus kuliah, nama perusahaan bergengsi dengan rentang gaji mentereng tertera di setiap nama, ada pula yang alumni yang bergelar founder dan segala macamnya.

Melihat itu semua, aku cuma bisa menelan ludah dan mengurut-urut dahi karena teringat nilai raporku yang biasa-biasa saja dibandingkan nilai mereka.

Aku mau beasiswa yang mereka dapatkan. Aku perlu pergi dari sekolah ini, dari rumah ini, dari Bali dan semuanya.

Mendekati kelulusan, aku tahu anak-anak kelas dua belas diam-diam makin sering mengunjungi situs alumni di website sekolah. Bahkan, ada yang sampai mencari kontak pribadi setiap alumni yang menerima beasiswa untuk berkonsultasi soal beasiswa tersebut. Aku tebak, mereka mulai mengumpulkan portofolio untuk pendaftaran.

Pintu kamar asrama mulai kukunci, anak-anak kelas dua belas sudah mulai mematai-matai satu sama lain, aku perlu lebih waspada. Ya, ya, biarpun sudah banyak yang pulang ke rumah setelah COVID 19 menyerang dan semua proses belajar dialihkan jadi belajar daring, aku nggak akan ambil risiko.

Dari nama-nama alumni ada satu yang aku kenal, namanya Arka, tertera di urutan terakhir halaman daftar alumni. Sekarang Bli Arka —begitu panggilannya —mengelola restoran, kafe dan bar di daerah Sanur, dekat dengan rumahku.

Dibandingkan dengan alumni-alumni lain, Bli Arka adalah yang paling tidak terkenal. Namanya sering dibicarakan tetapi nggak diperhatikan. Mungkin karena pekerjaan tidak sementereng alumni lain yang nangkring sebagai figur publik, pengusaha besar atau menjabat level eksekutif di perusahaan. Dia juga nggak pernah diundang sebagai pembicara, baik di acara orientasi sekolah atau di acara-acara publik pada umumnya.

Dia nyaris nggak punya media sosial, hanya ada satu Instagram dan itu pun isinya foto biji kopi, makanan di piring dan bangunan restorannya. Kalau bukan karena Ibu, aku mungkin nggak akan mengenal Bli Arka. Kami berdua pernah makan di restoran Bli Arka, Ibu sempat ngobrol dengan Bli Arka yang mengantar makanan dan dari sana kami berkenalan. Dia lulusan sekolah kuliner di Swiss, kembali ke Bali setelah merantau di Eropa.

Agak bodoh menurutku, buat apa kembali?

Setelah Ibu meninggal, aku sengaja meninggalkan asrama hanya untuk makan di restoran Bli Arka, walau bukan hari libur. Oh, Bli Arka juga datang ke acara Ngaben Ibu, sempat duduk menemaniku makan sebelum akhirnya pulang.

Hari ini semua kelas daring sudah selesai pukul dua tetapi dua room chat WhatsApp di laptop masih aktif, orang-orang makin gila belajar karena ujian akhir dilaksanakan akhir bulan nanti. Aku cuma memerhatikan balon chat yang muncul tanpa henti, isinya pertanyaan soal rumus Fisika; salah satu temanku malah mengundang ikut conference call untuk membahas, langsung saja kumatikan semua perangkat.

The Remains of The DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang