9. Kesukaan Kafka

790 116 10
                                    

"Kesurupan apa lo?" tanya Satya begitu melihat Kafka yang masih diam di tempat. Buku pelajarannya masih terbuka di saat yang lain sudah pergi berhamburan keluar. Tentu sangat aneh, karena biasanya cowok itu yang paling ingin cepat-cepat keluar dari kelas.

"Lo duluan aja," jawab Kafka lemah. Dia baru saja mendapatkan pesan jika Shenka menunggunya di kantin. Pesan berderet dengan emoji sekebon. Menuruti kewarasan juga progress move on-nya, Kafka tentu tidak akan memenuhi perkataan cewek itu. Lebih baik dia bosan sendirian di kelas ini.

"Aneh lo." Satya menggeleng-geleng kemudian berlalu pergi. Rasa lapar di perutnya membuatnya tak akan terlalu memedulikan perubahan Kafka itu.

"Kaf, nggak mau keluar?"

Kafka menahan untuk tidak menghela napas. Satya pergi, ada Elisa yang ikut bertanya. Teman sekelasnya. Kafka tak bermaksud kepedean, tapi dia tahu kalau sudah cukup lama Elisa menaruh suka padanya. Kafka tidak enak karena dirinya tidak bisa membalas hal itu.

Elisa bukan tipe blak-blakan, tapi dia terkadang melakukan perhatian-perhatian kecil. Dia sopan, lemah lembut, kepribadiannya tidak jauh dengan Shen--lupakan. Kenapa Kafka malah jadi berpikir ke sana. Lagi pula sudah jelas Shenkanya tidak seperti itu. Yang dulu itu hanya topeng kebohongan.

"Lagi nggak pengen."

Elisa tersenyum. "Ya udah gue duluan ya, Kaf."

Kafka mengangguk lalu memandangi punggung Elisa yang berjalan keluar. Cewek itu berbelok hingga bingkai pintu pun menunjukkan Shenka yang berdiri di sana.

Kafka menahan umpatan dalam hati, sementara Shenka yang membawa kresek cemilan seketika menyunggingkan senyum saat pandangan mereka bertemu.

Shenka berjalan cepat menghampiri hingga ketukan sepatunya terdengar begitu mengganggu. Dia duduk pada kursi yang ada di depan Kafka. Dengan semangat dia membuka jajanannya di atas meja.

"Bukannya di kantin?" Pesan Shenka belum terlalu lama, sangat aneh jika dia ke sini karena kelamaan menunggu Kafka. Bahkan untuk mendapat snack-snack itu pun tidak mungkin bisa secepat ini.

"Aku bilang nunggu di kantin, karena yakin Kak Kafka pasti nggak bakal pergi ke sana." Shenka menyunggingkan senyum lebar.

"Waktu kelas 3 SD aku pernah masuk 10 besar, jadi aku ini lumayan pinter, jangan ngeremehin. Aku lumayan oke buat bikin taktik."

Shenka membuat satu bungkus keripik kentang lalu, mengulurkan tangannya untuk memberikan suapan pada Kafka.

"Apa yang kamu lakuin?" Kafka menatap datar, dia berusaha memasang wajah segalak mungkin.

"Suapin Kak Kafka lah. Katanya suapan pertama itu paling enak."

"Nggak usah banyak tingkah."

Shenka memasang wajah cemberut. "Nggak mau, ya udah."

Shenka pun memakan keripik itu dengan santai. Seolah di dunia ini hanya dia sendiri, dia pun terus makan dengan raut yang penuh menikmati. Sementara Kafka hanya bisa mengamatinya.

Shenka mengecup ujung-ujung jemarinya setelah dia menghabiskan snack ketiganya.

"Kak Kafka bakal kasian nggak kalo aku bilang aku selalu makan sendiri?"

Kafka terdiam sejenak. "Karena orang-orang nggak tahan sama tingkah kamu."

Tawa Shenka seketika menggelegar. "Eh kok bisa langsung nebak bener gitu."

Kafka nyaris menganga. Dia berucap barusan karena tidak ingin membuat Shenka terlihat dikasihani. Ternyata memang kehidupannya tidak menyedihkan. Padahal Kafka berpikir jika di sekolah sebelumnya dia dikucilkan.

Hello SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang