Orang tua yang narsistik membuat anak mereka seolah-olah hidup dalam penjara. Anak dilahirkan hanya untuk memberi makan harapan orang tua. Mereka tidak diizinkan berkembang dan menikmati kehidupannya sendiri. Mereka hidup untuk ego orang tuanya.
.
.
.
Devara Almira, dua puluh tujuh tahun dan akan segera bertunangan.
Aku tidak tahu apa yang akan dia lakukan pada suaminya jika setiap hari seperti itu. Dia bahkan belum beranjak dari kursi sejak dua jam yang lalu, dengan posisi yang sama, menatap layar ponsel sambil tertawa cekikikan tapi detik berikutnya menangis tersedu-sedu, lalu tertawa kembali. Terus begitu. Dia benar-benar sudah hidup dalam kungkungan sosial media.
Namun, aku tidak mau mengolok atau mengomentari kebiasaannya, sebab hampir semua orang di dunia hari ini melakukan hal yang sama dengannya. Terlebih tidak setiap saat kami punya waktu libur seperti hari ini.
"Makan dulu!" kataku sambil meneletakkan piring berisi omelet dan potongan tomat segar ke atas meja.
Devara mengangguk tetapi pandangannya masih saja tertuju pada layar ponsel yang menampilkan video berdurasi pendek, lalu menggeser dengan jempol mungilnya. Dia bahkan sudah terlalu kurus akibat diet yang dijalaninya. Aku yakin, gaun pertunangannya akan membutuhkan banyak jahitan tambahan nantinya. Hanya saja, dia terus memaksa mengurangi berat badan. Padahal sebagai perawat harusnya dia bisa lebih realistis. Sehat jauh lebih penting alih-alih cantik dengan badan terlampau kurus.
Tanpa diet sekalipun, dengan segala kesibukannya mengurus acara kupikir berat badannya akan otomatis turun.
Devara meletakkan ponsel pintarnya, lalu mengangkat piring berisi sarapan buatanku. Dia menghirup aromanya sebentar, lalu mengiris permukaan telur dengan garpu. "Mbak Maya nggak makan?"
"Sudah," jawabku.
"Kapan?"
"Tadi. Di dapur."
"Kenapa nggak ngajak-ngajak?"
"Kamu sibuk main HP, dipanggil nggak nyahut."
Mendengar jawabanku, dia tersenyum malu-malu.
Sejujurnya, meskipun dia kadang menyebalkan tapi Devara adalah gadis yang baik dan menyenangkan. Dia telah menjadi sahabatku hampir tiga tahun, lebih tepatnya sejak aku pindah bekerja ke panti werda yang sekarang. Kami tinggal di asrama bersama para pekerja lainnya yang berada tepat di sebelah bagunan panti yang besar dan megah.
Unitku terletak bersebelahan dengan unit Devara, itulah kenapa kami sangat akrab. Dia bahkan sering datang ke kamarku, menginap dan membuatnya tampak lebih mirip adik perempuanku alih-alih sebatas teman kerja. Tidak ada yang seperti dia. Akan tetapi, aku suka. Ini mengingatkanku pada kedua adik perempuanku, Zahra dan Fahira yang tinggal di kampung. Dia bisa menggantikan kerinduanku sebagai kakak perempuan.
Bukankah ini aneh? Maksudku, saat kedua adikku ada di depan mukaku, kami hampir tak pernah akur tapi saat berjauhan dengan mereka rasanya menyedihkan. Aku merindukan keduanya. Aku bahkan berharap hari libur cepat tiba supaya bisa pulang dan bertemu mereka, tapi sayangnya, saat hari libur sungguh di depan mata aku tidak pernah menggunakannya.
Aku justru berencana memanfaatkannya untuk bertemu dengan pacarku, bersenang-senang di belakang orang tuaku. Meskipun sebenarnya tidak makan waktu lama untukku pulang, terlebih dengan kereta api nyaman, murah dan cepat seperti sekarang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Usaha Maya (TAMAT)
ChickLitDi usianya yang sudah kepala tiga dan siap menikah, Maya justru mendapat kabar mengejutkan bahwa adiknya, Zahra, tengah mengandung. Sialnya, di saat keluarganya di ambang kehancuran dan gonjang-ganjing, Maya terpaksa harus menelan pil pahit karena l...