Membandingkan Mas Johan dengan Ilham memang lah tidak etis, harus kuakui bahwa aku terkadang masih sering melakukannya karena memang hanya Ilham lah satu-satunya manusia yang bisa kugunakan sebagai tolak ukur dalam menjalin asmara.
Barangkali karena usianya lebih dewasa, terkadang aku merasa Mas Johan dapat memberiku ruang. Dia juga tidak pernah ingin mengorek sesuatu dariku apabila aku tidak siap membagikan kepadanya. Dia tahu persis di titik mana saja kami harus saling berbagi.
"Perasaanmu sendiri bagaimana?" Dia mengurungkan niat memakan nugget ayam di tangannya guna bertanya.
Sebelum menjawab, aku terlebih dahulu menghela napas panjang lewat mulut. "Sejujurnya, aku merasa bersalah. Bahkan sampai hari ini saja aku belum berani menghubungi Ibu. Pun kayaknya, ponsel Ibu disita sama Bunda. Makanya dia nggak bisa menghubungiku."
Mas Johan mengangguk-anggukkan kepalanya. "Mungkin itu yang terbaik. Setidaknya untuk saat ini."
"Anehnya, kok aku merasa ada yang mengganjal di hatiku. Semacam perasaan –"
"Tidak tega?"
"Bisa dibilang begitu."
"Itu wajar." Mas Johan mengambil segelas air putih di atas meja, tetapi tak langsung meminumnya melainkan memegangi gelas dengan tangan kanannya. "Dulu waktu pertama kami Papi sakit, aku juga tidak tega kalau harus melihatnya ..., kamu tahu ..., berobat. Terlebih kalau harus mengantarnya ke rumah sakit jiwa."
"Papi pernah masuk rumah sakit jiwa?"
Lagi, anggukan Mas Johan memperlihatkan kesedihan. "Sekali. Tepatnya, saat aku SMP kelas ..., berapa ya? Kalau nggak salah saat aku kelas delapan. Aku ingat betul hari itu Opa sendiri yang mengantarkan Papi ke sana. Malu? Pasti. Hanya saja, rasa sayang aku ke Papi jauh lebih besar dari itu. Kalau bukan kita, keluarganya yang merawat, siapa lagi?"
"Iya juga, sih. Tapi masalahnya kan aku nggak jadi merawat Ibu."
Mas Johan meneguk isi gelas hingga tinggal setengah, lantas meletakkan sisanya ke atas meja. Tangannya dengan tenang menyentuh kepalaku, mengusapnya lembut sekali. Andai saja kami tak sedang membahas hal macam ini, barangkali aku sudah terbang dibuatnya.
"Maya, bukan itu maksudku. Toh, dirawat sama kamu di sini belum tentu juga bisa bikin kondisi Ibu lebih baik. Kan tadi kamu sendiri yang bilang, di sini bukan tempat yang cocok buat ibumu dan di sana beliau sedang menjalani pengobatan."
Aku bergeming.
"Jadi, tugas kamu sekarang adalah memberikan dukungan. Bukan hanya buat ibu kamu, tapi juga untuk semua orang yang terlibat dalam penanganannya. Adik kamu, bapak kamu, bunda kamu, ayah kamu dan semuanya. Karena aku tahu pasti kalau ini nggak mudah buat mereka. Orang juga kadang lupa kalau selain yang sakit, yang merawat juga butuh dikasih semangat."
*_*
Meskipun tidak dekat dengan keluarga ibunya, bukan berarti Pak Johan benar-benar menjaga jarak. Karena di beberapa kesempatan dia mengajakku untuk makan malam bersama dengan keluarga ibunya. Dan tahu siapa yang paling kegirangan karena ini? Benar, dia adalah Devara.
Secara sengaja –aku tahu dari gelagatnya –Devara menyuruh Mas Johan untuk mengajak aku serta dalam kunjungannya ke makam Kristina. Ternyata, Umi masih sering mengunjungi makam putri sulungnya itu. Bahkan Abi pun ikut serta.
Kristina di tempatkan di pemakaman umum tidak jauh dari kediaman Pak Johan. Tempatnya sangat indah, bahkan makamnya dihiasi banyak bunga. Seolah-olah, Umi hendak memberikan yang terbaik untuk sang putri.
"Kristina adalah anak yang sangat manis." Tangan Umi mengelap nisan dengan lembut. "Sayangku, perempuan ini namanya Mbak Maya. Dia yang sudah berbaik hati membantu keluarga kita. Dia mirip sama kamu ya?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Usaha Maya (TAMAT)
ChickLitDi usianya yang sudah kepala tiga dan siap menikah, Maya justru mendapat kabar mengejutkan bahwa adiknya, Zahra, tengah mengandung. Sialnya, di saat keluarganya di ambang kehancuran dan gonjang-ganjing, Maya terpaksa harus menelan pil pahit karena l...