"Selama ini kamu ke mana?"
Adalah pertanyaan pertama yang kuberikan pada Mas Johan begitu dia muncul di depan mata. Kami duduk berdua di taman rumah sakit bersama segala kesibukan dan kebisingan tempat tersebut.
"Kenapa nggak pernah angkat telepon?"
"Maaf sudah membuatmu khawatir. Ponselku mati kehabisan baterai," dia menjawab dengan nada seolah tidak merasa bersalah sama sekali. "Tapi aku tidak kemana-mana. Aku ada di sini."
Omong kosong!
"Kemarin? Di sini juga?"
Dia terdiam sebentar, menatapku lalu menyampaikan alasan. "Teman kuliahku ulang tahun. Dia mengadakan pesta dan mengajak kami menginap di hotel."
"Teman kuliah? Di hotel?"
"INI SAMA SEKALI BERBEDA DENGAN YANG KAMU BAYANGKAN!"
Aku memilih tidak berkomentar meskipun begitu sama sekali tidak kualihkan tatapan tajam ini darinya.
"Bukan hanya aku yang diundang ..., ada banyak alumni yang datang." Suaranya semakin mengecil, sebelum akhirnya dia menunduk. "Aku benar-benar minta maaf karena sudah bikin kamu khawatir."
"Bukan cuma aku, Mas. Semua orang dari kemarin bingung nyariin kamu!" Tanpa sadar aku membentaknya. "Asal kamu tahu, Papi kena serangan jantung dan sekarang sedang dirawat di sini."
"HAH? Kok kamu nggak ngasih tahu aku?"
"Gimana caranya aku ngasih tahu kamu kalau ponselmu mati!"
Detik itu juga Mas Johan berlari menuju ruang perawatan ayahnya, sedangkan aku yang tak bisa mengimbangi kecepatannya memutuskan menyusul dengan langkah lebih pelan.
Aku mencoba memberikan ruang kepada mereka dan memang begitulah seharusnya. Akan tetapi, ternyata semua orang pun memilih demikian. Karena saat kusampai di sana, orang-orang hanya terduduk di luar. Membiarkan Mas Johan dan Opa Joshua menyelesaikan permasalahan mereka sendiri.
*_*
Meskipun sempat membaik tetapi Opa Joshua pada akhirnya berpulang setelah seminggu dirawat.
Jujur aku tidak tahu harus bereaksi macam apa ketika Devara tiba-tiba saja menelepon di tengah malam untuk memberiku kabar. Tubuhku mendadak lemas, bahkan untuk bangkit dari tempat tidur saja aku tak bersaya, seolah-olah seluruh tulang dan persendianku mati rasa.
Untungnya, tidak lama kemudian sahabatku itu datang bersama suaminya. Devara memelukku, membiarkanku menangis tersedu-sedu di pelukannya tanpa peduli kalau kerudungnya kini basah oleh air mata dan ingusku.
"Papi –"
"Nggak apa-apa. Nangis saja."
"Kenapa –" Aku tidak sanggup berkata apa-apa. Semua berhenti ditenggorokan. Mencekikku. "Ya Allah!"
Namun, sesakit apa pun yang kurasakan tidak akan mampu menyaingi kesedihan Mas Johan sebagai anak kandung Opa Joshua. Terlebih setelah apa yang terjadi sebelumnya. Sudah pasti dia merasa terpukul.
Bahkan di siang harinya, ketika aku bersama Devara melayat di rumah duka, dia hanya terduduk di samping peti mati. Tatapannya kosong tapi air matanya tidak berhenti menetes.
"Mas."
Sapaanku membuatnya menoleh. "Terima kasih sudah datang, May!"
Aku menghambur, memeluknya. Kami berakhir menjadi sepasang 'saudara' yang saling menguatkan satu sama lain.
"Maafkan Papi, Maya."
Tanpa melepaskan pelukan aku mengangguk. "Papi sekarang sudah nggak sakit lagi."

KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Usaha Maya (TAMAT)
ChickLitDi usianya yang sudah kepala tiga dan siap menikah, Maya justru mendapat kabar mengejutkan bahwa adiknya, Zahra, tengah mengandung. Sialnya, di saat keluarganya di ambang kehancuran dan gonjang-ganjing, Maya terpaksa harus menelan pil pahit karena l...