43. Yang Tidak Disangka

58 7 0
                                    

Ngawur.

Itulah yang aku pikirkan saat Fatima dengan penuh percaya diri menuduhku sedang jatuh cinta. Lagipula, mana mungkin aku jatuh cinta pada Pak Johan? Dia lebih seperti kakak lelaki bagiku.

Ya, kakak. Tidak kurang dan tidak lebih.

Lagian, aku tahu persis seperti apa rasanya jatuh cinta karena sudah bertahun-tahun lamanya aku hidup membawa perasaan itu. Dan jelas ini bukan perasaan yang sama dengan yang kuberikan pada Ilham. Sudah pasti perasaanku pada Pak Johan sekarang hanya kekaguman seorang adik perempuan kepada kakak lelakinya.

Dikarenakan semakin malam ternyata tamu semakin banyak, maka Fatimah meminta bantuan Hidayah dan Asma menggantikan posisi kami. Sebenarnya, segera setelah kedua sepupunya datang, Fatima langsung mengajakku masuk ke rumah tetapi karena teringat dengan janjiku pada Pak Johan, aku pun menolak.

Aku memutuskan untuk mengirim pesan dan menunggunya di luar tenda, sambil sesekali menengok ke area laki-laki. Hanya saja, tidak kutemukan batang hidungnya. Ke mana pria itu? Secara teori harusnya mudah menemukan Pak Johan dengan kemeja kasualnya di antara pria pulujam pria berbaju muslim. Akan tetapi, aku bahkan tidak bisa menemukan jejaknya. Sama sekali. Teleponku pun tidak diangkat olehnya. Satu-satunya yang membuatku yakin dia masih ada di sini ialah keberadaan sepeda motornya di parkiran.

"Permisi, Bapak!" Aku mencegat tiga orang pria paruh baya tepat di depan tenda. Mereka agak terkejut tapi dengan kompak menghentikan langkah. "Saya mau tanya ..., eh ..., apakah di dalam Bapak-Bapak melihat seorang laki-laki muda ..., tingginya sekitar –" Tunggu! Pak Johan seberapa tinggi ya? Eh, benar! "kurang lebih seratus delapan puluhan sentimeter, kulitnya putih dan pakai kemeja warna biru muda. Apakah di antara bapak sekalian ada yang tahu?"

Salah satu di antara mereka, lebih tepatnya bapak dengan kumis tebal menjawab, "Tadi saya memang melihatnya tapi kurang tahu ya sekarang ada di mana."

"Mungkin sedang di masjid, Mbak!" sahut bapak yang berbadan kurus. Dan jelas ini adalah kemungkinan paling tidak masuk akal sekarang. "Karena memang di dalam ada Ustaz Fahri juga, Mbak."

"Atau biar gampang mending suaminya ditelepon saja, Mbak!" tambah Bapak Berkumis sebelum akhirnya mengajak ketiga rekannya pergi. Bahkan sebelum aku mengklarifikasi.

Bisa-bisanya mereka mengira aku menunggu suamiku? Tapi, aku tidak bisa menyalahkan mereka sepenuhnya sih. Kembali kunyalaka layar ponsel, mengetik kontak Pak Johan dan memencet tombol panggilan. Terhubung tapi tidak diangkat. Berulang kali terus begitu. Akan tetapi, aku tidak menyerah. Satu-satunya yang membuatku berhenti memanggil ialah lambaian tangan Devara di arah teras. Segera kubalas panggilan itu dengan lambaian serupa. Dan benar saja, Devara kini menuju ke arahku.

"Ngapain lo? Bukannya masuk. Ditungguin tuh sama Umi di dalam."

"Bentar ya, Dev!" Aku masih mencoba mengulang panggilan via telepon. "Sebentar saja. Nggak sampai sepuluh menit."

Devara berdecih lalu ikut melongok ke arah tenda pria. "Lo nyariin siapa sih? Nggak baik tahu ngintip tenda cowok, Mbak May. Nanti dikiran yang enggak-enggak lho dirimu sama orang."

"Ini nggak seperti yang kamu pikir!"

"Kayak tahu saja lo apa isi pikiran gue. Terus ngapain lo kayak begitu?"

Harus bagaimana aku menjelaskannya? Tunggu! Kira-kira apa yang bakal dikatakan oleh Devara saat tahu Pak Johan ada di sini? Apakah dia akan menggodaku, lagi? Sebab selama seminggu terakhir, dia tidak berhenti membahas potensi hubungan di antara aku dan Pak Johan dengan dalih, "Memangnya salah kalau aku menganggap kalian cocok? Toh, baik lo sama Mas Hans sama-sama jomlo."

"MBAK MAY!" Aku sangat terkejut saat Deva secara tiba-tiba mengguncang bahuku. "Malah melamun. Kenapa sih?"

"Dev, aku boleh minta tolong?"

"Hah? Minta tolong apa?"

Aku menyentuh kedua bahunya dengan tangan, lengkap dengan air muka seserius mungkin. "Tolong bilang ke Hasyim buat nyari Pak Johan di dalam."

"Gimana?"

Sudah kuduga, Devara pasti akan teerkejut mendengar pernyataanku. Keningnya mengerut, lengkap dengan alis yang naik sebelah.

"Tolong banget, Dev! Aku tahu, aku salah karena sudah biarin dia masuk sendirian tapi tadi aku nggak punya pilihan lain. Ini sekarang orangnya juga nggak bisa dihubungi. Itulah kenapa aku takut dia kenapa-kenapa."

Devara menggeleng. "Ngapain?"

"Kok ngapain sih, Dev? Tentu saja aku takut kalau dia tersasar ke dalam pesantren. Kan bisa gawat."

"Nggak, Mbak May!"

Heh? Nggak? Apa maksudnya? Dia tidak mau membantuku mencari atau bagaimana? Ini sama sekali tak lucu. Aku tahu dia memang suka mengerjai orang tapi tidak begini juga caranya.

"Bisa-bisanya kamu. Ini Pak Johan lho, Dev."

"Justru karena dia Mas Hans, makanya nggak perlu dicari."

"Maksudmu?"

Devara hanya geleng-geleng kepala. "Tuh, dia ada di dalam. Lagi ngobrol sama Abi dan Umi."

"Serius?"

"Kalau nggak percaya lihat saja sendiri!"

"Kok kamu diam saja sih!"

Tanpa pikir panjang aku segera berlari ke ruangan tamu dalam, lebih tepatnya ruangan yang berada di antara masjid dan rumah utama. Sebetulnya di sana lah biasanya Umi dan Abi menerima tamu-tamu penting. Tapi, buat apa seorang Pak Johan diterima di sana? Sebenarnya apa yang sudah terjadi dua jam terakhir?

Dan benar saja, di dalam ruangan besar itu Pak Johan tengah mengobrol akrab dengan Umi dan Abi seolah-olah ketiganya telah saling mengenal. Oh iya, bagaimana mungkin aku lupa? Bukankah Pak Johan sama sepertiku? Sebagai teman dekat dari Hasyim dan Devara, sudah tentu dia pun diperkenalkan dengan Umi dan Abi.

"Mbak Maya? Kok berdiri di situ?" Pertanyaan Abi membuatku terkejut sekaligus malu. "Sini! Masuk!" lanjutnya sembari tersenyum lebar.

Sumpah! Aku merasa sangat malu sekarang. Bagaikan tertangkap basah. Tentu saja awalnya aku hendak menolak, tetapi begitu Umi menepuk-nepuk sisi sofa yang kosong di sebelah kanannya, hatiku merasa tak enak. Sudah kepalang tanggung.

"Maaf menganggu, Mi!" ucapku.

Umi menyentuh bahuku, menariknya supaya aku lebih mendekat. "Kamu sudah makan?"

"Alhamdulillah sudah, Mi," jawabku. "Umi mau saya ambilkan makanan?" Terlebih ketika aku menengok ke atas meja tidak ada apa-apa di sana. "Eh, sebentar ya, Mi. Saya ambilkan kue dulu untuk Dokter Johan."

Bokongku hampir terangkat dari sofa saat tiba-tiba Umi bertanya, "Kamu kenal sama Hans?"

Apakah ini aneh?

Kenapa Umi dan Abi memberiku tatapan seperti itu?

Aku pun ragu-ragu mengangguk. Bukan ragu pada perkenalanku dengan Pak Johan, melainkan ragu untuk menjawab pertanyaan ini. "Memangnya kenapa ya?"

"Nggak kenapa-kenapa!" Kali ini Abi yang menjawab. "Cuma kaget saja."

Umi menambahkan, "Kenal di mana?"

"Papi kan sekarang dirawat di tempat Dokter Maya, Mam!" Pak Johan menjelaskan.

Tapi, tunggu! Apa yang baru saja dia katakan?

"Mam? Dokter Johan manggil Umi dengan Mam? Maksudnya?"

Sambil cengengesan Pak Johan mengangguk. "Mami. Ini mami saya."

"HAH?"

Sebentar! Sebentar! Ini aku tidak salah dengar, kan? Mami? Umi adalah maminya Pak Johan?

"Maaf. Maksudnya ..., mami ..., angkat atau gimana?"

"Kandung." Umi menjawab dengan yakin. Tidak ada satupun tanda-tanda bercandaan di sana. Malah, kini aku lah yang mendapat tatapan aneh dari ketiganya. "Hans ini anak kandung Umi. Anak yang keluar dari rahim Umi."

Heh?

Aku masih mencoba mencerna semuanya tapi sungguh ini sulit dipercaya. "Itu berarti ..., Umi ibunya Kristina?"

"Dari mana kamu tahu nama itu?" Tidak seperti sebelumnya, senyuman di wajah Umi seketika lenyap saat mendengarku mengucapkan nama itu. Yang segera membuatku yakin bahwa benar semua ini bukan mimpi. Aku tidak sedang gila.

Sebuah Usaha Maya (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang