"Terimakasih untuk hari ini, Nona." Hiero menatap Aelia, pria itu tersenyum.
Keduanya sedang berjalan ke arah taman kaca—tanpa bergandengan tangan. Mereka belum terikat oleh status apapun. Hanya kata teman yang bisa menggambar mereka sekarang.
"Maaf apabila tadi telah melibatkan Anda."
Aelia tertegun, ia menatap heran pria di sebelahnya. Ia tersenyum tipis. "Itu bukanlah suatu masalah besar yang membuat Tuan Muda Fenton harus meminta maaf kepada saya. Saya hanya sedikit mengutarakan apa yang ada di pikiran saya."
Hiero mengangguk paham. Mereka sampai di depan pintu taman kaca. Beberapa pelayan menyambut dengan ramah. Melayani mereka berdua.
"Apakah pekan ini Anda sibuk?"
Di tengah heningnya taman, Hiero bersuara. Setelah berbicara dengan tenang, ia menyesap tehnya dan menatap gadis di depannya dengan lekat.
"Maaf?"
Aelia tak paham, ada angin apa tetiba pria itu memikirkan jadwal dirinya. Lisha yang ada tak jauh dari Aelia pun ikut bingung—menatap Aelia tak percaya. Ada apa ini. Dalam hati Lisha sangat ingin menggoda Nonanya.
"Saya tak ada jadwal penting untuk pekan ini. Untuk apa Anda bertanya?" Dengan ketus Aelia menjawab. Perasaan tidak enak menyelimuti dirinya.
"Saya ingin mengunjungi pesta penutupan bersama dengan Anda." Hiero menatap Aelia dengan ekspresi tenang. Wajahnya sangat datar, berbeda dengan wajah Aelia dan Lisha yang terkejut mendengar perkataannya. Mereka berkedip dengan cepat. Aelia dan Lisha adu pandang—melakukan telepati. Apa maksud pria ini, Lisha mengangkat bahu. Saya tak tahu Nona, jangan tanyakan makhluk datar ini kepada saya! Lisha terlihat kasihan sekali, wajahnya seperti benar-benar tak tahu harus berbuat apa.
"Saya akan mengirimkan gaun ke kediaman Verena nanti." Hiero melihat jam tangan miliknya.
"Sepertinya saya harus pergi," ia berdiri dan membungkuk hormat. Aelia mematung di tempat, matanya tak fokus—melamun.
"Nona! Tuan Muda Fenton telah pergi." Aelia terperajak kaget, ia melihat kursi kosong di depannya.
"Sejak kapan?"
"Beberapa menit yang lalu." Aelia menghela napas kasar. Ada apa sebenarnya, ini terlalu mendadak.
"Apakah Anda berubah pikiran, Nona?"
"Aku bahkan belum menjawab ajakannya."
"Apakah Tuan Muda Fenton tertarik kepada Anda?" Aelia menggeleng kuat. Tak setuju dengan pernyataan Lisha.
"Mustahil. Manusia datar sepertinya tak mungkin tertarik secepat kedipan mata. Aku tak percaya itu."
Bruk!
Hiero menaruh jas yang ia gunakan hari ini di atas tempat tidurnya. Kepala pelayan mengikutinya ke dalam kamar.
"Apakah terjadi sesuatu, Tuan?"
"Aku ingin kau memesankan satu set pakaian pria dan wanita untuk acara penutupan pendirian negara nanti. Lalu, kirimkan gaun itu menuju kediaman Verena."
"Baik, Tuan. Kalau begitu saya permisi."
Kepala pelayan itu keluar dengan tenang—tak terdengar suara dari pintu yang tertutup. Hiero berjalan ke arah meja di dekat jendela. Ada teh dan beberapa cemilan ringan, para pelayan biasanya yang menyiapkan. Ia mendudukkan diri, memutar kursi hingga menghadap keluar jendela. Langit sangat cerah hari ini, burung-burung di pohon terlihat bersautan, mereka bernyanyi. Hiero menatap mereka dalam diam. Aneh.
Di saat yang sama Aelia dan Lisha sibuk meladeni pembicaraan para pelayan.
"Apakah Tuan Muda Fenton telah luluh akan, Nona?"
"Apakah nanti akan terjadi pernikahan di masa depan?"
Mereka terlihat bersemangat—berputar bersama, menari. Menatap Aelia dengan mata yang bersinar. Aelia hanya bisa menghela napas. "Jauhkan pemikiran seperti itu," ia memijat pelipisnya yang terasa sakit. Hari ini berisik sekali. Belum lama sejak Hiero kembali, kediaman Verena sudah ramai akan gosip penyatuan keluarga Fenton dan Verena. Aelia penasaran dengan respon keluarganya, Aelia yakin bahwa gosip itu belum terdengar di telinga mereka, karena buktinya tak ada seorang pun yang datang ke kamar Aelia dengan terburu-buru. Mungkin nanti.
"Bisakah kau mengambilkan untukku teh hangat? Cemilan manis juga."
Aelia lagi-lagi menghela napas. Tubuhnya sangat lelah hari ini, ia harus mendinginkan pikirannya terlebih dahulu. Aelia ingin memikirkan semua ini sendiri, dan hanya dirinya sendiri tanpa Lisha dan pelayan lainnya.
"Apa yang sebenarnya terjadi, aku tak mengerti jalan pikiran pria itu. Apakah aku harus mengunjunginya dan meminta penjelasan?" Aelia melihat jurnal jadwal yang biasa Lisha berikan. "2 hari lagi aku dan Grace akan bertemu. Aku bisa meminta penjelasannya saat itu." Aelia tersenyum mantap, ia mengepalkan tangannya. Baiklah, tunggu saya Tuan Muda.
"Nona, saya telah membawakan teh Anda."
"Terimakasih, Lisha."
***
Hari itu tiba. Keputusan masa depan Aelia akan ditentukan hari ini. Karena itu, gaun yang dipakai harus memenuhi ketentuan. Yang pertama adalah jangan sampai ia dipandang jelek, terlebih meninggalkan kesan buruk. Aelia menggunakan gaun cerah, dengan perhiasan sederhana yang menambah kesan manis. Setidaknya inilah langkah pertama agar tak terlihat seperti gadis yang murka akibat tindakan gegabah pria itu. Aelia mendengus, awas saja!. Dengan persiapan tempur yang matang, Aelia bergegas pergi menuju kediaman Fenton.
"Mau ke mana?" Aelia yang sedang berjalan, menghentikan langkahnya. Mengerutkan kening.
"Ada apa?" Kakaknya yang sedang berdiri di ambang pintu, melangkah masuk.
"Apakah itu benar?"
"Apa?"
"Hiero."
"Aku tak tahu. Maka dari itu, aku akan berbicara dengannya." Aelia yang tak menghiraukan reaksi kakaknya itu, melengos pergi begitu saja.
"Semoga berhasil, Li!"
Aelia tak peduli dengan kata-kata semangat, ia hanya perlu kejelasan. Repot urusan bila terdengar rumor aneh di kemudian hari. Semakin cepat, semakin baik. Selagi rumor itu belum menyebar ke seluruh Ibu kota, Aelia harus meluruskannya terlebih dahulu.
Aelia pergi menuju kediaman Fenton seorang diri. Keretanya kosong dan tempat duduk terasa luas. Sangat nyaman. Lisha, Aelia tinggalkan di kediaman Verena untuk suatu hal—menyirami bunga yang Aelia tanam sejak dirinya kembali lagi ke masa lalu—agar tak mencegah apa yang ingin Aelia katakan nanti di depan Tuan Muda itu.
"Kita sudah sampai, Nona."
Seperti biasa, terlihat ada beberapa pelayan yang menyambut Aelia—etiket keluarga bangsawan. "Apakah Tuan Muda Fenton sedang sibuk?" Para pelayan bertatapan. Aelia paham tatapan itu, ia mengambil napas dengan pelan.
"Saya ingin menemuinya setelah kunjungan dengan Nona Grace selesai. Apakah bisa?" Pelayan itu bertatapan lagi, bingung ingin menjawab seperti apa. Salah satu dari mereka berinisiatif,
"Baiklah, akan kami tanyakan, Nona." Aelia menganggukan kepala dan tersenyum.
"Terimakasih."
Ketika Aelia berjalan pergi, yang termuda bertanya. "Apakah tak masalah? Suasana hati Tuan Muda sedang tidak baik beberapa hari ini," katanya dengan raut wajah khawatir.
"Tenang saja. Ini Nona Verena, aku yakin tak masalah."
Kediaman Fenton sangatlah besar, tentu saja itu karena reputasi dan sejarah panjang dari keluarga itu. Berjalan kaki dengan kecepatan normal saja memakan waktu 10 menit, itu pun hanya mengelilingi 1 lantai, sedangkan kediaman Fenton memiliki 4 lantai dan 3 mansion yang mengitari bangunan utama. Sungguh hebat, Aelia sangat penasaran akan kisah dibalik semua ini—sejarah keluarga Fenton.
"Nona Grace sedang menunggu Anda di taman belakang." Aelia mengikuti dan sampai menuju tempat di mana Grace berada.
"Cepat sekali. Tidak biasanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Hint from Archy (HIATUS)
FantasiSebuah cerita yang menceritakan tentang 3 variabel waktu. Tidak ada yang tau siapakah Antagonis "asli" dalam torehan cerita kali ini. < Apa kamu bisa berjanji bila aku mengembalikan dirimu? > Suara asing yang terdengar di telinga membuat Aelia...