"Laut, aliranmu berhasil membuatku tenang. Ombak yang berisik itu berhasil membuat sunyi isi kepalaku. Lantas mengapa akhirnya aku kau tenggelamkan hingga nafasku tercekat?"
~ Alara Raynelle
⚠️⚠️⚠️⚠️
Cerita ini hanya imajinasi semata, latar tempat...
Alara dan Ren masih shock, keduanya tak menyangka akan menerima kenyataan pahit.
Brama dan Yudha tidak menjelaskan apapun lagi, tapi bagi mereka pembicaraan kedua orang tuanya itu cukup memberi jawaban yang jelas. Ren masih berusaha ikhlas dia cukup tenang meski sebenarnya pikirannya kacau. Jelas jika dia kecewa bahwa tempat yang membawa kenyamanan itu sendiri adalah tempat orang yang seharusnya menjadi semestanya pergi.
Alara diam seribu bahasa, betapa buruk nasibnya orang tuanya meninggal di saat dia masih bayi. Dia yatim piatu sejak kecil dan orang tua angkatnya menyembunyikan semua ini hingga enam belas tahun.
Dia tak tahu harus marah pada siapa lagi. Apa dia harus marah pada Ayahnya yang selama ini membiayai hidupnya? Atau marah pada Tuhan yang mengambil kebahagiaannya lagi, tapi enam belas tahun dia diizinkan hidup seharusnya dia bersyukur.
Alara benar-benar kacau, kenapa harus dia? Kenapa dia tak ikut mati saja hari itu?.
Pertanyaan demi pertanyaan muncul di kepalanya yang entah harus dia tanyakan pada siapa.
Tak ada suara diruang tamu itu semenjak fakta besar terungkap. Kedua bapak itu bingung, merasa bersalah. Namun, dalam hati mereka juga mengatakan bahwa anak-anaknya perlu tau.
"Maaf, Nak." Suara pertama, Brama yang membuka percakapan.
Dan air mata yang mati-matian Alara tahan, mulai keluar dari persinggahannya. Dia menunduk tak sanggup menatap Ayahnya. Dia ingin marah kepada lelaki itu, tapi apa pantas dia marah orang yang rela merawat anak yatim piatu sepertinya.
"Jangan ditahan, Nak. Keluarkan semuanya! Ini salah Ayah, Nak."
Alara tak sanggup, dia hanya menghampiri Brama lalu memeluknya erat. Menangis sejadi-jadinya. "Kenapa harus aku, Ayah? Kenapa?" ucapnya dalam tangis.
"Tuhan tahu kamu kuat, Nak. Alara gadis yang kuat dan hebat." Brama berusaha menenangkan, Alara menggeleng. Ucapan Ayahnya tak benar, dia tak sekuat itu.
Menyaksikan itu, Yudha ikut memeluk Ren. Ren tak membalas pelukan Papanya. Dia sama bingungnya harus marah pada siapa, sementara selama ini Papanya berjuang keras untuk membiayai hidupnya, merawatnya tanpa bantuan Ibunya.
"Ren ikhlas, Pa. Laut nggak salah, dia hanya menjalankan takdir Tuhan. Dan Tuhan menciptakan manusia-manusia kuat dari tragedi itu." Ucap Ren bibirnya bergetar.
Alara yang mendengarnya semakin histeris. Bohong! Alara tidak sekuat itu menerima takdir. Tidak semudah itu menyatakan dia ikhlas akan semuanya. Hidupnya sudah terlalu rumit dibuat semesta. Dan selalu, kenapa harus dia yang menerima segala takdir mengenaskan ini?
"Semesta terlalu jahat buat aku, Ayah. Aku nggak sekuat itu. Aku udah cukup trauma kehilangan Ibu, tapi kenapa harus ada takdir yang lebih kejam daripada kemarin? Apa Tuhan sebenarnya tidak ingin aku lahir? Bukankah Dia yang punya segala kendali? Kenapa tak dimatikan saja aku sebelum dilahirkan ke dunia?" pertanyaan-pertanyaan keluar dari mulut Alara semakin tak terkontrol, dia lepas kendali.
Brama mengeratkan pelukannya. Memberikan seluruh kenyamanan yang dia punya agar putrinya tenang.
"Nak, kamu punya Ayah. Sampai kapanpun Ayah tetap Ayahmu, kamu nggak sendirian. Ada Ayah disini yang nggak akan ninggalin kamu. Kamu anak kuat, putri kecil Ayah yang hebat." Ujar Brama dalam dekapannya.
Alara melepas pelukan ayahnya perlahan, "Janji, jangan pernah ninggalin Alara. Nggak boleh ada siapapun yang pergi dari hidup Alara."
Mendengar kalimat Alara, membuat Brama berfikir sejenak. Mampukah dia menemani putri kesayangannya ini. Sedangkan tak ada yang tahu soal takdir yang bisa merubah apapun secara tiba-tiba. Namun, Brama mengangguk pasti. Meyakinkan anak gadisnya bahwa dia akan selalu menemani Alara sampai kapanpun.
"Aku juga akan selalu nemenin kamu, Al. Aku janji nggak akan ninggalin kamu, kita bakal sama-sama sampai aku lihat kamu pakai gaun putih di acara pernikahan kita nanti. Mungkin lima tahun yang akan datang." Ren ikut menimpali dan membuat Alara tersipu malu. Lalu mereka berempat kompak tertawa bersama.
Alara juga sedikit lega, masih ada orang yang peduli terhadap anak yatim piatu yang bahkan tak tahu siapa orang tua kandungnya. Dan semoga ini adalah terakhir kalinya dia tahu bahwa dia telah kehilangan banyak hal.
***
Banyak hal yang selalu diluar keinginan kita, takdir selalu membuat kejutan-kejutan yang tak pernah kita persiapkan. Jika kebahagiaan itu adalah hal yang sangat kita syukuri, tapi jika kehilangan itu yang membuat kita sulit untuk menerima segalanya.
Namun, dari sekian banyak kehilangan yang paling menyakitkan adalah ikhlas dan mencoba terbiasa tanpa kehadirannya. Itu sulit bahkan bisa membuat seseorang tak punya arah untuk kembali melanjutkan hidup.
Dukungan dari orang terdekat adalah salah satu support terbesar untuk seseorang yang sedang terpuruk akan kehilangan. Dan ya itulah yang Alara dan Ren lakukan, keduanya sama-sama kehilangan dan keduanya mulai saling menguatkan satu sama lain.
Meski Ren hanya kehilangan satu orang, tapi mental orang tak ada yang tahu. Bahkan orang yang berkali-kali kehilangan bisa saja jauh lebih kuat daripada orang yang baru kehilangan.
"Al, kita ikhlas, ya. Tuhan punya rencana yang terbaik buat kita. Dibalik kehilangan-kehilangan yang pernah kita lalui Tuhan pasti punya alasan yang akan kita petik kebahagiaan nantinya. Mungkin memang tak sekarang, tapi aku yakin itu pasti ada." ucap Ren.
"Iya, Kak. Terima kasih udah selalu nguatin aku dan bikin aku nyaman."
"Setelah kelulusanku kita ke pantai, kita berterima kasih karena mereka telah memeluk orang tua kita dalam tenangnya. Membawa mereka dalam pelukan bumi yang suci dan bahkan tidak mengizinkan kita untuk menemuinya pada saat terakhir dalam hidup mereka." saran Ren.
Alara hanya diam, tak menyetujui dan juga tak menolak. Menurutnya, tak ada salahnya mencoba berdamai dengan hal yang merenggut kebahagiannya. Siapa tahu dia bisa jauh lebih bahagia dari sekarang jika dia mulai perlahan ikhlas menerima segala takdir.
***
Nganjuk, 15 Desember 2023
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.