Erlan mengulas senyum yang terasa getir. Mengusap nisan di hadapan sekali lagi, pria itu bangkit dari posisi berjongkok.
"Aku pulang dulu, Ger," pamitnya pada si pemilik pusara.
Kakinya yang dilapisi celana kain warna hitam itu berayun lesu menuju mobil. Selalu saja seperti ini tiap kali ia berkunjung ke sini. Suasana hatinya selalu buruk. Kemarahan, kebencian, kekecewaan dan penyesalan itu masih sangat membekas, meski bertahun-tahun sudah berlalu.
Erlan tidak tahu kapan ia akan bisa lupa pada peristiwa itu. Sekeras apa pun ia berusaha lupa, kenangan pahit itu masih kerap mampu membuat tarikan napasnya terasa tak nyaman. Erlan masih belum sepenuhnya rela agaknya.
Ini harusnya jam makan siang. Erlan mestinya menikmati makanan di kantin kantor atau kafe dan restoran yang berada di dekat tempatnya bekerja. Namun, pria itu malah ke sini, ke makam seseorang yang kepergiannya masih belum bisa Erlan terima.
Erlan sudah di balik kemudian saat ponselnya berdering. Sang ibu menelepon.
"Ya, Ma?" sapa Erlan lebih dulu. Ia diam beberapa saat mendengar Astari bicara, kemudian memberi persetujuan lewat kalimat singkat. "Oke."
Erlan menyimpan ponsel. Menyalakan mesin mobil, pria itu meninggalkan area pemakaman setelahnya. Lelaki itu mengingat baik-baik pesan Astari tadi. Malam ini, ada acara makan malam bersama di rumah orang tuanya, dan Erlan harus datang.
Sulung dari dua bersaudara, di usianya yang ke dua puluh lima, Erlan sudah angkat kaki dari rumah orang tua. Saat itu ia sudah bekerja di sebuah perusahaan, karenanya diizinkan untuk hidup mandiri. Terhitung sampai tahun ini, Erlan sudah tak tinggal dengan ayah dan ibu selama delapan tahun.
Tinggal terpisah, Erlan jadi lebih sering diminta pulang. Kadang karena Mama rindu. Terkadang untuk menghadiri acara keluarga yang digelar di rumah orang tuanya atau seperti yang tadi Astari katakan, ada pertemuan dengan teman-teman papanya.
Kadang, Erlan bingung apa kepentingannya datang di acara yang terakhir. Yang akan berkunjung adalah sahabat-sahabat papanya. Kenapa ia perlu hadir? Memang, karib-karib papanya itu juga akan datang bersama anak-anak mereka. Namun, tetap saja harusnya Erlan bisa mangkir.
Namun, Erlan bisa apa kalau ibunya sudah bertitah. Juga, Erlan punya satu alasan masuk akal kenapa setuju datang tidak akan memberi kerugian sebegitu besar. Ada satu gadis yang juga akan datang di acara itu dan sepertinya sudah cukup lama Erlan tidak bertemu dengannya.
Teringat gadis pendiam itu, Erlan mengambil belokan menuju sebuah pusat perbelanjaan, saat harusnya ia lurus saja untuk bisa kembali ke kantor. Erlan harus membawa buah tangan untuk gadis itu.
***
Erlan memberi senyum pada Tamara yang baru saja mendaratkan bokong di kursi penumpang mobil. Pria itu memajukan tubuh untuk memberi kecupan di pipi si perempuan.
"Sore banget pulangnya?" tanya lelaki itu sembari menginjak gas, melajukan mobilnya meninggalkan parkiran sebuah rumah makan.
Tamara mengangguk. "Padahal harusnya aku pulang jam lima. Kamu nunggu lama?" Perempuan itu tampak tak enak.
Erlan menggeleng. "Kita ke mana dulu? Makan?"
Senyum di bibir Tamara mengembang. "Aku udah makan. Kamu belum?"
Si pria menggeleng. "Udah, sih tadi di kantor."
Tawa Tamara berderai. Matanya berkilat penuh arti, sama seperti yang sekarang Erlan tunjukkan. "Kalau gitu, kita ke kos aku aja, ya?"
Mengangguk dua kali, Erlan berdeham. Pria itu mengulum senyum, meski tatapannya masih lurus ke depan.
"Kamu beli apa?" Tamara bertanya usai menengok ke belakang dan menemukan paper bag di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menggenggam Asa
RomanceErlan tidak percaya cinta. Peristiwa di masa lalu membuatnya enggan menjalin hubungan serius dengan perempuan mana pun. Pada Asa, ia hanya iba. Namun, siapa yang menyangka kalau hatinya akan tertambat. Asa hanya menginginkan hidup yang normal, lepa...