"Pulang nggak kamu?!"
Bentakan itu memang ditimpa suara hentak musik yang kencang. Namun, Asa masih bisa mendengarnya. Membuat langkahnya yang hendak menuju lantai dansa terhenti.
Pria di belakang Asa maju, menarik lengannya kencang. "Pulang!" Sekali lagi Nael membentak.
Asa menepis tangan adiknya. Gadis itu bersikeras hendak ke lantai tempat orang-orang berjoget, sampai seorang pria mengadang langkahnya. Erlan muncul.
Lelaki yang lebih tinggi dari Asa itu menautkan alis. Tatapannya tajam, tak seperti biasa.
"Mau apa kamu di tempat kayak begini?" tanya Erlan dengan suara rendah.
Asa bahkan belum sempat menjawab, tangannya sudah dipegangi. Gadis itu ditarik hingga keluar dari kelab. Bahkan saat mereka sudah di parkiran, Erlan masih memegangi pergelangan tangannya erat.
"Mas, lepas." Asa berusaha menepis tangan Erlan. "Tanganku sakit."
"Sakit?" Erlan balas bertanya dengan nada suara yang masih rendah. Ia berbalik. "Bukannya kamu memang cari penyakit dengan datang ke tempat begini?"
Asa membalas tatapan marah lelaki itu. "Kenapa? Kenapa kalian marah? Kalau kalian yang datang ke tempat ini boleh, sedangkan aku enggak?"
"Ya!" jawab Erlan tegas.
"Kenapa? Kenapa aku enggak boleh, sementara kalian boleh?"
"Karena kamu perempuan!"
"Memang kenapa kalau aku perempuan?"
Mata Asa berkedip gusar saat dilihatnya Erlan tak berkedip dan menatapnya dengan sorot mata penuh cemooh. Ia menelan ludah hati-hati. Perempuan itu merasa harus waspada.
"Serius kamu nanya begitu, Sa?" cibir pria itu geli. "Kedengaran bodoh banget, serius."
Asa habis kata. Ia membuang pandang.
Erlan kemudian menoleh pada Nael. "Kamu pulang aja. Jangan kasih tahu Om Joash kakakmu tantrum. Aku pulang bareng Asa."
Nael mengangguk patuh. Sebelum pulang, ia sempatkan memeluk si kakak. "Aku nggak pernah nyalahin kamu, Sa," bisiknya tulus. "Pulang. Kasihan Ibuk."
Asa pura-pura menatap ke atas. Kelopak matanya berkedip cepat demi menghalau air mata yang sudah akan tumpah.
Selepas Nael pergi, Erlan membawa Asa ke mobil. Ia perlu sedikit memaksa agar gadis itu masuk dan duduk. Menempati kursi kemudi, Erlan menyalakan mobil dan meninggalkan parkiran kelab.
Pikir Asa masalah akan selesai ketika mereka sampai di rumah Rudi. Erlan menutupi ini dari Joash, pasti juga melakukan hal serupa di depan Rudi, karenanya tak akan membahas lagi. Namun, tidak demikian.
"Datang ke kamarku setelah kamu selesai bersih-bersih dan makan."
Begitu yang Erlan bisikkan sebelum pria itu melewatinya di depan kamar. Asa tidak ingin ini jadi panjang. Namun, ia juga tak kuasa menolak perintah itu.
Sehabis mandi, si gadis pergi ke kamar Erlan. Pria itu menyuruhnya masuk, kemudian menutup pintu. Asa disuruh duduk di kursi di depan meja komputer.
"Mau apa kamu ke tempat kayak tadi?" Erlan bertanya dari tepian ranjang. Pria itu tampak belum mandi, sebab masih mengenakan kemeja kerja.
Asa menunduk. Tak berniat membeberkan ide impulsifnya beberapa jam lalu.
"Asa," tegur Erlan.
Si gadis akhirnya melirik sejenak. "Aku pusing, Mas," keluhnya dengan wajah tebal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menggenggam Asa
عاطفيةErlan tidak percaya cinta. Peristiwa di masa lalu membuatnya enggan menjalin hubungan serius dengan perempuan mana pun. Pada Asa, ia hanya iba. Namun, siapa yang menyangka kalau hatinya akan tertambat. Asa hanya menginginkan hidup yang normal, lepa...