MA - Bab 3

107 18 0
                                    

Asa yang baru tiba di rumah, tengah berjalan ke ruang tengah saat telinganya menangkap sayup-sayup suara orang bicara. Gadis itu memelankan langkah, menajamkan pendengaran. Ia mendapati suara papa dan adiknya bersahutan.

"Papa udah janji tahun lalu!"

Asa sepenuhnya berhenti berjalan. Gadis itu menyembunyikan tubuh di balik dinding yang menyekat ruang tamu dan ruang televisi.

"Nael, kenapa kamu selalu tidak bisa mengerti apa maksud papa? Kita tidak mungkin ajak Asa ke pantai. Apa tidak bisa rencana liburan kamu ditunda atau dibatalkan?"

"Sampai kapan aku menunda keinginanku demi Asa, Pa?"

Pertanyaan itu menusuk. Membuat wajah Asa seketika dilingkupi mendung yang pekat.

"Kamu masih saja egois. Kapan kalian akan mengerti keinginan papa? Papa cuma ingin kalian mempertimbangkan perasaan Asa. Kalau kamu pergi, mustahil kakakmu tidak akan tahu. Lalu, apa? Dia akan sedih. Kalian suka membuat Asa sedih?"

"Papa yang nggak pernah mengerti kami. Kenapa segala sesuatu di rumah ini harus selalu demi kebahagiaan Asa? Aku sama Nata itu bukan anak Papa?"

Dada Asa kembang kempis mendengar kalimat yang disuarakan adiknya dengan penuh kecewa. Mata gadis itu berair. Ia keluar dari balik dinding, mendatangi Joash dan Nael yang sedang berdebat.

"Kamu mau ke pantai?" Asa berusaha menampilkan senyum pada Nael yang terlihat terkejut. "Pergi aja. Kakak enggak akan minta ikut. Kakak juga enggak suka pantai lagi."

Tangan Asa mulai gemetar usai bersitatap dengan Nael. Ia takut. Ia takut sudah melukai adiknya lagi.

"Mu--mulai sekarang, kamu boleh pergi ke mana pun tanpa pikirin aku. Aku enggak akan ganggu kamu atau Nata lagi." Berurai air mata, Asa melewati adiknya untuk pergi ke kamar.

Namun, langkahnya terhenti saat Joash buka suara. Ayahnya kembali menyalahkan Nael.

"Puas kamu? Senang kamu lihat kakakmu menangis macam itu?"

Asa berbalik. "Pa," pintanya membujuk.

"Kamu tahu kakakmu itu sudah banyak menderita sejak kecil?" Joash menatap Nael kecewa. "Dia harus minum susu formula dari semenjak lahir, Nael. Bukan seperti kamu yang bisa minum ASI sepuas hati!" Mata pria itu mulai menyala oleh amarah, tetapi juga berkaca-kaca.

Tangis Asa makin deras. Bukan ini yang ia mau. Ia hanya mencoba menengahi, kenapa malah menyulut api?

"Kamu dan Nata diurus ibu. Asa harus papa titipkan di rumah nenek atau tantemu. Dia menangis di atas sepeda motor setiap malam, karena kedinginan!"

"Itu salahku, Pa?" balas Nael dengan kedua tangan terkepal. Ia tidak terima.  "Kenapa papa selalu salahkan aku atau Nata soal itu? Kami bahkan nggak tahu apa-apa!"

"Kalau kamu tidak tahu, harusnya kamu nurut sama papa!" Joash membentak. Napas pria berumur itu memburu. "Apa jalan-jalan dan liburan ke pantai lebih penting daripada kakakmu?" Ia menyipit pada sang anak.

"Ini bukan soal jalan-jalan atau liburan, Pa," sangkal Nael.

Joash mengangkat dagu. "Lantas apa? Apa?"

"Ini soal Papa yang lupa kalau selain Asa, Papa masih punya dua anak lagi." Nael mengerutkan kening, kekecewaan tergambar jelas di matanya. "Asa, Asa, Asa terus!"

Nael meledak. Asa bisa lihat kalau kali ini adik bungsunya itu tidak akan menahan diri seperti biasa. Terlebih, ibu mereka sedang tidak ada di rumah.

"Papa bahkan nggak datang waktu aku wisuda!"

Menggenggam Asa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang