MA - Bab 8

170 13 0
                                        

"Mas, aku pengen nyebur."

"Kan ini udah. Kamu udah basah, loh." Erlan menoleh dengan satu alis menukik. Genggamannya pada tangan Asa mengerat ketika gadis itu hendak berlari semakin ke tengah.

"Pengen ke tengah, terus berenang ke ujung sana. Pengen kabur yang jauh."

Raut wajah Erlan berubah murung. "Selain pantai, ada tempat yang pengen banget kamu datangi?"

"Taman hiburan?" Asa menengok dengan wajah semringah. "Pengen naik rollercoaster. Pasar malam juga, mau lihat tong setan."

"Hal lain yang mau kamu lakuin?"

"Mandi hujan, Mas! Ikut lomba lari maraton? Kemah? Mas pernah naik paralayang? Main yoyo? Jidatku pernah kena yoyonya Nata, habis itu papa larang ada yoyo di rumah."

"Yang lain?"

"Mas pernah naik motor kenceng? Yang kencengnya sampai bikin jantung deg-degan? Aku pernah, satu kali pas SMA. Mau gitu lagi, seru soalnya. Jantungku jadi cepet, ngilu, tapi bikin ketawa."

"Yang lain?"

"Pengen bikin tato! Orang-orang yang pakai tato kok kelihatannya keren banget. Aku mau punya satu, yang kecil aja di pinggang, biar kelihatan seksi."

Teringat percakapan mereka di pantai dan bagaimana raut wajah Asa saat mengatakan semua itu, Erlan yang sudah berbaring di ranjang dibuat menarik napas dalam. Sorot mata yang sedih, takut dan senyum getir gadis itu tak mau pergi dari benak Erlan. Sungguh membuatnya resah.

Erlan tak menyangka kalau Asa menyimpan banyak hal menyedihkan selama ini. Kali ini ia akan mengamini ucapan Alan kemarin, soal dirinya yang kurang peduli. Dia memang kurang memperhatikan hal-hal, sampai-sampai baru tahu jika banyak sekali hal tidak adil yang sudah Asa alami.

Lama melamun, Erlan mengeluarkan ponsel. Pria itu menghubungi sekretarisnya lewat pesan. Pukul dua pagi, lelaki itu meminta bantuan si sekretaris untuk membelikan sebuah barang.

***

"Cobain. Gimana? Enak tidak, Sa?"

"Enak, dong. Oh, iya, Tante?" Asa berucap hati-hati.

Erlan mendengar suara Asa saat ia menginjak dapur untuk mengambil jus jeruk, usai mandi. Gadis itu di sana bersama Astari. Sepertinya Asa sudah akan berangkat sebab kemeja warna coklat dipadukan dengan rok hitam sudah terpasang di tubuhnya.

"Kenapa, Sa?" Ibunya Erlan bertanya.

"Mau bawa bekal pakai lauk ini. Boleh enggak?" Asa menunjuk sepiring daging ayam kecap di meja.

Membuka kulkas, Erlan melihat Asa mengulum senyum. Mata gadis itu mengecil. Sepertinya ada rona malu di pipinya.

"Boleh, dong. Asa bawa bekal ke sekolah? Kenapa kemarin tidak bilang?"

Erlan duduk di meja makan. Ia minum sambil menontoni interaksi dua perempuan di sana.

"Hari ini aku di sekolah sampai sore, mau selesaikan beberapa hal. Karena itu mau bawa bekal. Boleh, ya, kan?" Asa memastikan.

Astari tersenyum. "Boleh, Sayang. Boleh. Tante malah senang. Sudah lama rasanya tidak siapkan bekal. Sini, mana kotak bekalnya. Biar Tante siapin."

Asa berlarian ke rak, mengambil kotak bekal untuk diserahkan pada Astari. Dua perempuan itu sibuk mengisi kotak, Erlan mulai sarapan.

"Kamu berangkat jam berapa, Sa?" tanya Erlan saat gadis itu bergabung dengannya di meja.

"Setengah jam lagi, Mas. Kenapa?"

Menggenggam Asa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang