Mama memintanya datang pukul tujuh. Erlan tiba di rumah orang tuanya pukul tujuh lebih tiga puluh menit. Bersama Tamara memang kerap membuatnya lupa waktu. Terlebih, seharian ini ia lelah, pikirannya kusut karena masalah pekerjaan dan juga habis mengunjungi seseorang di makam. Erlan butuh menyalurkan semua emosinya.
Pria itu berjalan tergesa sambil meringis saat menemukan dua mobil sahabat papanya sudah terparkir di carport. Ia hanya berharap tidak membuat sahabat-sahabat papanya kecewa. Soal mama yang mengomel, Erlan sudah terbiasa.
Erlan menemukan ruang tamu dan ruang tengah rumah kosong. Seorang asisten rumah tangga menyambutnya dan memberitahu kalau semua oang ada di halaman belakang. Segera Erlan menuju ke sana.
Asisten rumah tangga tadi benar. Semua orang ada di sana. Erlan sedikit heran saat menemukan adik-adiknya--anak-anak sahabat papa--dalam formasi lengkap. Biasanya, para pemuda itu juga enggan diajak kumpul-kumpul di acara orang tua begini.
"Sori, Erlan telat, Ma." Erlan lebih dulu mendatangi ibunya. Ia kecup pipi wanita itu sebagai permintaan maaf, dibalas cubitan pedih di perut.
"Tidak sekalian datang besok?" sindir Astari.
Erlan yang mulai menyalami semua sahabat papanya hanya mengulas senyum menanggapi ejekan ibunya. Ia menanyai kabar om dan tantenya itu bergantian. Setelahnya, Erlan menyapa anak-anak teman papanya.
Menepuk pelan pundak keempat lelaki muda di sana, Erlan menghampiri satu-satunya gadis cantik di tengah-tengah mereka. Erlan tarik kursi hingga duduk tepat di sebelah gadis itu.
"Aku udah kelewatan apa?" tanya Erlan pada gadis itu. Asa namanya.
Perempuan itu menggeleng. "Belum makan, kok. Bentar lagi kayaknya. Mas tepat waktu di acara yang jamnya ngaret."
Begitu saja, Erlan tertawa pelan. Gadis ini memang pandai membuat suasana jadi baik. Lihat saja, sindiran tadi bahkan membuat semua orang di meja tersenyum.
Makanan siap tidak lama setelahnya. Papa dan mamanya mempersilakan tamu mereka menikmati sajian yang ada. Erlan kembali duduk di samping Asa di meja makan. Pria itu merasa lebih nyaman kalau berdekatan dengan si gadis, daripada mama atau keempat saudara lelakinya yang lain.
Ada percakapan ringan di meja itu selagi masing-masing mereka menikmati makanan. Astari mengeluh soal Alan yang belakangan makin jarang pulang.
"Aku itu lagi laku-lakunya, Ma," tutur Alan dengan wajah sedikit malas. "Lagi banyak brand yang mau aku jadi model barang mereka."
Lain dengan Erlan yang menjadi pegawai sebuah perusahaan kontruksi, Alan mengambil jalan di bidang lain. Adiknya Erlan adalah seorang model. Kadang produk fashion, kadang juga produk kecantikan. Pokoknya yang menghasilkan, kata Alan.
Alan mengaku sedang banyak pekerjaan, Erlan bisa maklum. Ia yakin mamanya hanya terlampau cemas ditinggalkan. Mungkin, Astari tidak mau Alan juga meniru Erlan yang memutuskan untuk tinggal terpisah.
Setelah Astari, kini Tante Yola yang mengeluh. "Si Brian lebih parah, Tari," ceritanya sambil melirik sebal pada anaknya. "Kerjanya di rumah terus. Heran. Anak laki-laki kok hobi di rumah?"
Di seberang meja, ibunya Asa mengulas senyum. "Biasanya, yang kerjanya dari rumah uangnya yang paling banyak."
Perkataan itu langsung disambut Brian dengan tepuk tangan. Wajahnya semringah dan puas. "Memang, Tante Rei ini sesuatu. Udah cantik, cerdas pula bisa melihat segala hal dari sudut yang lain," komentarnya.
Yola hanya bisa mencebik mendengar itu. Namun, ia kembali tersenyum ketika Rei juga tersenyum.
Di kursinya, Erlan hanya menikmati percakapan orang tua yang isinya keluhan-keluhan itu. Ia heran, apa, sih, motifnya para orang tua ini melakukan hal itu? Ia pastikan para ibu ini sudah pernah mengomel di rumah soal hal serupa. Kenapa masih harus diulang di acara makan bersama begini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Menggenggam Asa
RomanceErlan tidak percaya cinta. Peristiwa di masa lalu membuatnya enggan menjalin hubungan serius dengan perempuan mana pun. Pada Asa, ia hanya iba. Namun, siapa yang menyangka kalau hatinya akan tertambat. Asa hanya menginginkan hidup yang normal, lepa...