MA - Bab 5

91 12 1
                                    

Kata Alan, yang butuh tempat menginap itu Nael. Pemuda itu tak mungkin pulang dalam keadaan tidak sadar, atau om Joash akan makin marah. Erlan yang kasihan pada Asa setuju, tetapi yang terjadi lain dari seharusnya.

Bukan hanya Nael, Alan, Nata dan juga Asa ikut-ikutan menginap di apartemennya. Para pemuda menempati kamar tamu, Erlan menemukan Asa sudah lelap di sofa ruang tamu usai ia mandi.

Pria itu memandangi si gadis sambil menimbang. Haruskah ia biarkan Asa tetap tidur di sana? Namun, Erlan rasanya tidak tega kalau harus membangunkan Asa untuk diminta pindah ke kamar.

Menimbang harus apa, Erlan yang buntu memutuskan untuk duduk. Menatapi Asa, Erlan jadi ingat cerita Nata dan Alan. Soal kenapa Nael sampai mabuk dan apa yang menjadi alasan Joash dan Nael sempat berseteru.

Hanya karena Nael yang menuntut janji ayahnya untuk diizinkan liburan ke pantai. Menurut cerita Nata, sudah lama memang Joash menjanjikan akan memberi izin. Namun, sampai sekarang Nael tak juga dibolehkan pergi.

Usut punya usut, rupanya Joash melarang Nael pergi karena ia tak ingin Asa ke sana. Asa dilarang ke pantai atau bahkan mendekati pantai sejak kejadian tiga belas tahun lalu, di mana Asa nyaris tenggelam di laut.

Bukannya Nael sengaja mau ke pantai demi membuat Asa cemburu. Justru ia ingin kakaknya bisa pergi ke sana. Nael tahu Asa sudah lama punya keinginan untuk kembali melihat laut. Namun, karena ayah mereka Asa selalu menahan diri.

Rencana Nael, kalau Joash mengizinkan, ia akan diam-diam menculik Asa. Sebab Nael tahu kalau pun diajak, Asa tidak akan turut serta karena tak ingin membantah Joash.

Perkara pantai saja bisa jadi sepelik ini. Erlan tidak habis pikir, tetapi ia juga iba pada Asa. Tidak ia sangka gadis pendiam ini punya kesusahan. Padahal, keluarga Asa cukup berada, ia sulung dan satu-satunya anak perempuan. Harusnya, Asa bisa mendapatkan apa pun. Namun, untuk sekadar pergi ke pantai saja perempuan itu kesulitan.

Erlan sendiri tahu bagaimana rasanya menahan diri, mengabaikan keinginan sendiri, demi bisa membuat orang lain senang. Ia pernah merasakannya dulu, saat Astari memaksa kuliah di jurusan yang sama sekali tak ia minati. Beruntung waktu itu Rudi membela hingga akhirnya Erlan bisa menempuh pendidikan di jurusan yang dimau.

Asa juga harusnya bisa dibela ibunya, Tante Rei. Atau Nata dan Nael. Namun, gadis itu memilih jalan yang lain, yakni tetap diam dan menuruti semua aturan ayahnya. Itu demi menjaga agar keluarga mereka tidak berintrik, Nata yang bercerita soal itu.

Erlan sungguh iba. Ternyata, di balik wajahnya yang sering dianggap judes, Asa menyimpan banyak hal. Termasuk rasa takut yang kemarin sudah Erlan lihat ketika datang ke rumah Joash.

Lama memandangi Asa, Erlan melihat gadis itu bangun. Asa duduk, mengedarkan pandang sesaat, kemudian meringis sembari memegangi kening.

"Mas Erlan?" panggilnya dengan suara serak.

"Kenapa?"

"Ada obat demam enggak?"

Erlan menyipit. Ia beranjak dari sofa, mengulurkan tangan untuk memeriksa dahi Asa. Benar. Suhu tubuh gadis itu agak hangat.

"Kayaknya ada. Kamu udah makan?" Erlan memastikan.

"Udah, Mas. Aku minta obatnya satu. Di mana?" Ia berdiri, tetapi kembali duduk saat Erlan mendorong bahunya pelan.

"Biar aku ambilkan," kata Erlan. Ia sudah berbalik dan menuju dapur, saat suara Asa yang bergumam terdengar.

"Jangan sakit. Jangan sakit, Sa. Kamu bisa bikin semuanya makin kacau."

Entah kenapa, Erlan mengerti apa yang kini Asa rasakan.

***

Asa berjongkok di depan pintu kamar mandi apartemen Erlan. Di dalam sana, adiknya sedang muntah. Gadis itu baru bangun dan langsung diperlihatkan kondisi Nael yang sepertinya tidak baik.

Menggenggam Asa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang