MA- Bab 9

71 8 1
                                    

Asa sudah melajukan sepeda motornya melewati gerbang sekolah, ketika melihat seorang pria turun dari taksi. Pria itu Erlan, karenanya si gadis menarik rem. Ia pikir sesuatu yang aneh melihat kakaknya Alan itu ada di sekolahan.

Dirinya dan Erlan bertemu pandang kala lelaki itu berjalan ke arah pagar. Asa melipat dahi, bingung.

"Jam ngajar kamu udah selesai?" tanya lelaki itu ketika mereka sudah berhadapan.

"Mas ke sini mau ketemu aku?" tebak si gadis masih dengan tatapan heran.

Erlan mengangguk santai.

"Ada apa, Mas? Kenapa enggak telepon aja?"

Si lelaki memegangi satu kemudi sepeda motor. "Geser ke belakang," suruhnya sambil menipiskan bibir.

"Kenapa, Mas?" Makin tak paham, Asa bertanya agak kencang.

"Katanya pengen naik motor kenceng-kenceng. Sini, aku kasih tahu rasanya naik motor kenceng, sampai kamu ngerasa nyawamu kayak mau lepas. Berani?" Pria itu mengangkat dagu sekilas, memberi sorot menantang.

Wajah Asa langsung berubah semringah. Gadis itu tersenyum lebar. Segera ia bergeser ke belakang, memberi ruang pada Erlan untuk menjadi pengemudi.

"Tapi aku enggak ada helm satu lagi, Mas," ucap Asa dari belakang.

Erlan yang sudah naik ke motor menggeleng sebagai jawaban. "Nggak masalah. Kamu siap?" Pria itu menoleh dengan senyum tipis.

Bersemangat Asa mengangguk. Tak lupa gadis itu membelitkan lengan di pinggang Erlan. Ketika si pria menarik gas, jantungnya langsung berdebar kencang. Asa gugup, tetapi juga sangat bahagia.

Satu kali lagi Erlan memberikan apa yang selama ini ia idam-idamkan. Meski keinginan satu ini berbahaya, tetapi entah mengapa Asa begitu yakin dirinya akan aman. Seperti saat di pantai. Erlan tak melepas tangan Asa sedetik pun di sana dan memastikan semuanya aman. Sekarang pun serupa.  Asa percaya, lelaki yang tengah ia peluk sekarang tidak akan membiarkannya celaka.

***

Duduk tak nyaman dan terus memperbaiki posisi sejak tadi, Joash tertegun saat mendengar suara tawa mulai mendekat ke ruang tamu rumah Rudi. Ia kenali tawa itu. Sepanjang hidup, tawa itu adalah yang kedua yang  paling Joash sukai.

"Tapi beneran, Mas. Kamu, tuh, nekat banget. Kita bisa kena tilang kalau beneran masuk tol."

Joash mendengar gadis itu bicara. Dengan nada semringah. Membuat hatinya sedikit sedih. Jadi, Asa sama sekali tak sedih? Dari caranya bertutur, gadis itu terdengar senang-senang saja. Asa senang hidup berjauhan dari Joash?

"Paling ditilang. Kamu, tuh, takut banget. Udah dibilang aku jamin kita aman. Temenku ada yang polisi, Sa."

Saat akhirnya pandangan Joash menemukan sosok Asa di ruang tamu itu, si pria berdiri. Ia menyambut sang anak dengan senyum lebar. Namun, Asa malah menghilangkan tawa dan senyum dari bibir. Anak perempuan Joash itu tampak terkejut.

Wajah Joash ikut murung. "Nak, kamu enggak senang lihat papa datang?" tanyanya dengan suara parau.

Asa membisu. Gadis itu mengedarkan pandang. Ada Om Rudi di ruangan itu. Bersama Tante Astari, dua teman papanya itu memberi senyum kikuk. Mungkin, mereka cemas Asa marah karena membiarkan Joash datang ke sini.

"Nak, papa datang mau jemput Asa." Joash meninggalkan sofa. Dihampirinya si buah hati. Merangkum wajah gadis kesayangannya dengan dua tangan, mata si ayah berkaca-kaca. "Asa nggak rindu papa?"

Joash kira anaknya akan menghindar. Mungkin menepis tangannya, kemudian pergi. Namun, Asa tak pernah gagal membuat hatinya senang. Gadis itu menghambur ke pelukannya, memeluknya erat sekali.

Menggenggam Asa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang