"Jangan lupa PR-nya dikerjakan, ya." Memberi senyum lebar pada murid-murid yang tampak tak sabar pulang ke rumah, Asa mengakhiri kelas hari itu.
Satu per satu anak didiknya keluar dari bangku, lalu menyalami. Asa tidak lupa memberi nasihat agar mereka hati-hati di jalan atau supaya langsung pulang dan tidak singgah ke mana-mana.
Inilah yang paling berat bagi seorang pekerja. Sepelik apa pun masalah yang sedang dialami. Sekusut apa pun pikirannya kini, ia masih harus tampak baik dan tersenyum. Lebih-lebih buat Asa yang pekerjaan sehari-harinya adalah mengajari anak-anak membaca dan berhitung.
Apa jadinya bila masalah yang ada membuat Asa cemberut selama jam pelajaran? Bisa-bisa, murid-muridnya ketakutan dan minta dipulangkan.
Hampir tiga tahun sudah Asa mengabdi di sebuah sekolah dasar swasta. Ia mengajar anak-anak kelas dua dan tiga. Asa mewujudkan mimpi Joash yang katanya ingin si sulung menjadi guru.
Sekarang jam kerja Asa sudah selesai. Namun, alih-alih senang karena sudah bisa pulang, ia malah gundah. Malas-malasan langkah Asa meninggalkan ruang guru menuju parkiran sekolah.
Asa takut pulang. Ia belum siap bertemu papa atau adiknya. Kalau ibu, ia sudah bertemu kemarin. Seperti biasa, Asa cuma bisa menangis di depan wanita itu. Ia tak ingin mengadu lebih jauh, sebab tak ingin ibunya merasa bersalah.
Kebingungan harus pulang atau tidak, Asa membelokkan sepeda motor ketika melihat sebuah kafe. Gadis itu putuskan untuk singgah di sana dulu. Siapa tahu setelah melihat pengunjung kafe silih-berganti masuk atau keluar, atau memesan beberapa makanan, suasana hatinya akan jadi lebih baik.
***
Asa meninggalkan kafe pukul tujuh malam. Papa sudah menelepon lebih dari lima belas kali. Hendak bergegas pulang, Asa yang baru meninggalkan parkiran kafe melihat Nata melintas dengan mobil.
Ia kira adiknya akan pulang, sama sepertinya. Namun, saat harusnya mengambil belikan ke kiri, mobil yang Nata kendarai malah berjalan lurus. Disusupi rasa penasaran, Asa mengikuti mobil itu.
Lima belas menit kemudian ia memelankan laju sepeda motor. Mobil Nata memasuki sebuah parkiran. Ada gedung seperti ruko di sana, tetapi terlihat tertutup.
Dilihatnya Nata masuk ke sana. Ikut memarkirkan sepeda motor, Asa melakukan hal serupa. Betapa gadis itu terkejut saat mendapati kalau di bagian dalam bangunan yang mirip ruko itu adalah sebuah tempat hiburan.
Suara musik yang diputar membuat Asa memejam. Telinganya sakit, jantungnya ikut menghentak karena kerasnya volume yang ada. Pengap terasa, asap rokok di mana-mana. Asa butuh beberapa menit untuk bisa menyesuaikan diri dengan keadaan ruangan itu.
Dirasa sudah sanggup berjalan, mata Asa mengedar. Ia cari keberadaan Nata. Melangkah sebanyak sepuluh kali, gadis itu menemukan satu titik di ruangan itu.
Ada sofa. Ada meja. Ada orang-orang berkumpul, meski tidak bergoyang seperti yang ia temukan di bagian depan. Di sana, di salah satu sudut, Asa melihat Nata.
Adiknya itu meremat rambut dengan ekspresi wajah ditekuk. Di samping Nata yang berdiri, di atas sofa, ada Nael yang duduk bersandar dan sibuk tertawa-tawa.
Ini memang baru pertama kali Asa menginjakkan kaki di tempat seperti ini. Namun, bukan ia tidak tahu apa nama tempat ini dan apa saja kegiatan yang bisa dilakukan di sini. Dalam sekejap hati Asa terasa hancur.
Melihat Nael yang tersenyum dengan tatapan mata tak fokus dan wajah memerah, Asa rasanya luar biasa kecewa dan juga takut. Perempuan itu makin sedih saat mendapati tak hanya Nata yang ada di sana, melainkan Alan.
Jadi, semua orang tahu kecuali dirinya?
Asa menguatkan pijakan. Ia melangkah tergesa menghampiri Nata. Ia temukan adiknya dan Alan membeliak macam baru melihat setan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Menggenggam Asa
RomanceErlan tidak percaya cinta. Peristiwa di masa lalu membuatnya enggan menjalin hubungan serius dengan perempuan mana pun. Pada Asa, ia hanya iba. Namun, siapa yang menyangka kalau hatinya akan tertambat. Asa hanya menginginkan hidup yang normal, lepa...