Kalau diingat-ingat, Erlan sudah sangat jarang merokok. Terlebih sejak ia pacaran dengan Tamara. Pacarnya itu suka sesak kalau menghirup asap rokok.
Sudah mengurangi kebiasaan menikmati sigaret, sore ini Erlan menghabiskan satu batang selagi menunggu Asa di luar mobil. Setelah tadi dia berinisiatif menemani gadis itu, sekarang mereka ada di salah satu jalan.
Erlan sudah makan siang. Pria itu mengobrol beberapa saat dengan pemilik warung di dekat lapangan sepak bola ini. Namun, Asa belum juga selesai menangis.
Ia berusaha memahami. Asa baru saja mendengar fakta yang selama ini ditutupi ayah dan dan adiknya. Erlan tebak, Asa makin merasa kalau dirinya sudah merusak hidup adik-adiknya.
Kalau bisa Erlan simpulkan, Nata dan Nael dipaksa Joash masuk sekolah Asa demi menjaga si kakak. Padahal, Nael bilang dia punya sekolah tujuan, anak itu sudah memilih jurusan yang diminati.
Selama ini fakta tersebut disembunyikan, Nael mungkin terlampau tertekan hingga akhirnya membeberkan segalanya. Dan seperti yang sudah-sudah. Kebohongan selalu memberi kekecewaan.
Parahnya, bukan hanya kecewa. Asa juga merasa bersalah. Karena itu si gadis marah. Ia bilang tak mau bertemu ayahnya dulu. Asa hendak pergi sendiri tadi, maka itu Erlan memberi tumpangan.
Mereka tidak ke mana pun. Erlan tidak berani bertanya harus mengemudi ke mana, sebab didengarnya tangis Asa penuh kesedihan. Sekarang sudah sore, Erlan lebih baik memberanikan diri menginterupsi gadis yang air matanya tak habis-habis itu.
Lelaki itu masuk ke kursi kemudi. Dibukanya botol air minum yang sedari tadi cuma dipangku Asa, kemudian disodorkan pada si gadis lagi.
"Udah sore. Kamu beneran enggak mau pulang?"
Asa menoleh. Ia menghapus air mata dengan punggung tangan. Namun, itu sia-sia, sebab pipinya dengan cepat kembali basah.
"Aku enggak mau ketemu papa," katanya sambil terisak.
Menipiskan bibir, Erlan mencari jalan. Sebuah ide terlintas begitu saja. "Ke rumah papaku mau?"
Asa menggeleng. "Nanti ngerepotin. Aku ke rumah temanku aja."
"Kamu mau papamu nyusul dan paksa kamu pulang?"
Gadis itu menggeleng lagi.
Erlan tersenyum tipis. "Papaku bakal bisa melarang om Joash datang, ya, 'kan? Kamu bisa di sana dulu, dan semua orang enggak akan cemas."
Tidak mendengar suara bantahan, Erlan menyalakan mesin mobil. Dilihatnya Asa sudah akan tersedu lagi, segera ia menginterupsi.
"Minum dulu. Terlalu banyak nangis bisa bikin dehidrasi enggak, sih?"
***
Rudi sengaja berdiri di depan pintu rumah. Usai melihat mobil Erlan memasuki carport, pria itu langsung menghampiri. Asa yang muncul langsung ia peluk.
"Papamu memang kadang kelewat batas," kata ayahnya Erlan usai mengurai pelukan. "Di sini dulu, ya. Jangan ke mana-mana. Om pastikan papamu enggak akan datang dan paksa kamu pulang."
Rudi mengulas senyum saat Asa mengangguk. "Nak," panggilnya membujuk. "Om tahu sebesar apa Joash mencintai Asa. Om cuma berharap kamu enggak lupa itu."
"Om sebenarnya bela siapa?"protes Asa berusaha terlihat tersenyum. "Tadi katanya papa kelewat batas. Sekarang, Om larang aku marah sama papa."
Tangis gadis itu mengalun pelan, Rudi memeluknya lagi.
"Aku jahat, Om. Aku udah buat Nata sama Nael tersiksa. Mereka bahkan terpaksa membuang mimpi mereka demi aku."
Rudi membantah. "Bukan salah kamu. Jangan pernah mikir seperti itu. Semua ini cuma salah paham." Ia merangkul Asa, menuntun langkah mereka masuk ke rumah. "Kita masuk dulu, kata Erlan kamu belum makan. Papamu bisa mengamuk kalau Asa sampai kelaparan di rumah om Rudi."

KAMU SEDANG MEMBACA
Menggenggam Asa
RomanceErlan tidak percaya cinta. Peristiwa di masa lalu membuatnya enggan menjalin hubungan serius dengan perempuan mana pun. Pada Asa, ia hanya iba. Namun, siapa yang menyangka kalau hatinya akan tertambat. Asa hanya menginginkan hidup yang normal, lepa...