Hari ini aku cukup senang, bisa jalan berduaan dengan Ade. Entah mengapa aku bisa mood sebagus ini, seperti ada magis yang menarik jiwaku.
***
"Selamat pagi, anak-anak, perkenalkan nama Ibu Rinda Putri Ayu atau bisa dipanggil dengan nama Bu Ririn. Baiklah alangkah baiknya kita berdoa dulu. Berdoa dimulai," sapa ku."Selamat pagi, Bu," balas serentak, kemudian semua murid kelas 11 H, lalu menuruti perintah ku.
"Berdoa selesai. Baiklah, selanjutnya ibu mau mengabsen." Semua anak selesai berdoa, lalu mengabsen mereka satu per satu.
Sepuluh menit berlalu, aku sudah selesai mengabsen.
"Anak-anak, kalian belajar seni budaya sudah dari mana?" tanya ku.
"Baru selesai halaman sebelas, Bu," balas Nazhwa.
"Oh, baru halaman sebelas yah." Semua anak mengangguk, kemudian aku mengambil spidol merah dan menulis 15 soal dari halaman 12 -- 14.
Selepas menulis di papan tulis, semua anak kelas 11 H menulis di buku tulis dan mengerjakan nya. Punggung ku terasa sakit, sebab seharian kemarin duduk di depan monitor, ditambah malamnya aku berjalan dengan Ade.
"Lebih baik, aku tidak perlu memaksakan diri untuk menulis di papan tulis," ucap ku.
Selanjutnya aku kembali duduk di kursi, tidak lama aku menerima pesan WhatsApp dari Uni.
[Rinda, kau sudah dapat nomor Mas Sabar?] tanya Uni.
[Astaga, Mbak Uni bikin ganggu aja dah. Iya, tadi aku barusan dapat nomornya, nih ambil tapi jangan bilangin sama Pak Sabar, kalau aku yang beri,] balas ku.
[Wah, makasih Rinda. Sorry ganggu, lagian aku sudah nunggu dari kemarin, doain aku mudahan dapat hati Mas Sabar.]
[Amin, semangat Mbak Uni.]
Aku cukup kesal, namun aku berharap Sabar bisa dekat dengan Uni. Lagian dari pagi tadi, Sabar terlihat berbeda, dia yang berusaha mendapatkan ku mungkin saja karena terhalang agama.
Dua puluh menit kemudian, kini semua anak telah selesai mengerjakan lima belas soal, lalu dikumpulkan di atas mejaku, aku langsung memeriksa dan memberi nilai mereka. Rata-rata nilai mereka dapat 80-90.
Usai memberi nilai, tak lama suara bel sekolah berbunyi tiga kali, menandakan waktu pelajaran kedua telah berakhir, lalu digantikan waktu istirahat.
Aku segera pamit pada murid kelas 11 H, kemudian berjalan menuju kantor dengan menempatkan buku cetak seni budaya dan tas, selanjutnya aku telah berjanji dengan Ade akan pergi menuju tempat Satria untuk menyantap bakso. Aku pergi ke tempat tersebut, sambil membawa tas kecil dan gawai.
Saat tiba ditempat Pak Satria, aku hanya melihat Ade saja, sedangkan Wawan dan Sabar tidak ada sana. Aku bergegas menghampiri Ade sambil memesan bakso pada Satria.
"Pak Satria, aku mau pesan bakso campur satu," pinta ku.
"Baik, Bu Rinda," balas Satria.
Kemudian aku mencium pipi Ade yang sedang sibuk bermain gawai dengan mencari cincin untuk melamar ku , lalu aku duduk di samping nya.
"Mas Ade, sudah berapa lama duduk di sini?" tanyaku.
Ade pun kaget ketika menerima ciuman ku, lalu mematikan gawai langsung.
"Mas, sudah lima menit yang lalu ada di sini, sayang. Kamu sudah pesan bakso?"
"Sudah, mas. Mas kenapa panik begitu? Ada masalah kah?" heran ku.
"Gak ada apa-apa, dek. Dek, mas boleh minjam jari mu," pinta Ade.
"Buat apa, mas?"
"Nggak ada apa-apa, mas mau meramal jari mu aja. Kelak nanti kita bakalan punya anak berapa?" Ade berpura-pura bohong, sebab ingin tahu ukuran jariku.
"Heh. Mas, tau darimana soal ramalan itu?"
"Dari YouTube."
"Yaelah, mas. Percaya amat sih dengan YouTube, itu kan cuman rekayasa."
"Ga pa-pa, dek. Sini minjam jari mu." Ade memeriksa jari manis ku.
"Emm, kemungkinan kelak nanti kita bakalan punya lima anak," tebak Ade.
"Heh. Kebanyakan mas, tapi aku nggak percaya." Aku langsung menarik jari ku.
"Hahaha ... jangan terlalu serius, dek. Mas, cuman bercanda."
"Ih-nakal banget dah, Mas Ade!" Aku mencubit perutnya.
"Heh. Aw-ah sakit dek. Iya, mas janji nggak akan lakukan lagi." Ade kesakitan.
Selama kami berdua sibuk bercanda, Satria datang menyuguhkan bakso pesanan kami berdua.
"Nih Pak Ade, Bu Rinda. Silakan di makan, mumpung masih hangat," suruh Satria.
"Iya Pak Satria, terimakasih," balas kami berdua.
Selepas menyantap bakso sampai kenyang, tak lama bel sekolah berbunyi tiga kali menandakan jam istirahat telah berakhir. Kemudian aku mengandeng tangan Ade dengan berjalan menuju ke kantor.
"Ternyata, makan berdua lebih enak yah, mas. Jadi romantis kita semakin dekat tanpa diganggu siapa pun," ucap ku.
"Iya sayang. Nanti malam jadi kan pergi ke pasar malam," balas Ade, lalu mengulangi pertanyaan dari sebelum waktu istirahat.
"Hum ... iya mas, habis pulang mengajar ini aku usahakan menulis sampai selesai. Emang di pasar malam itu ada apa? Bikin aku penasaran aja," heran ku.
"Intinya ada hal yang cukup istimewa, buat Dek Ririn."
"Emm ... jadi penasaran, aku usahakan deh nulis cepat selesai."
Ade mengangguk sambil tersenyum, kini kami berdua berada di dalam kantor bersamaan. Kebetulan aku ada kelas terakhir di kelas 11 D, sedangkan Ade tidak ada kelas sama sekali.
"Mas, aku pergi ngajar lagi yah. Ini tinggal satu kelas lagi," ucap ku.
"Iya, dek. Semangat ngajar nya," balas Ade.
Aku mengangguk sambil tersenyum, lalu aku bergegas pergi menuju kelas 11 D dengan melewati koridor. Setelah kepergian ku, Ade datang menghampiri kantor kepsek.
"Wan, kamu sudah pesan cincin nya?" tanya Ade.
"Sudah, De. Nanti habis ini, aku bakalan pergi ke lokasi mengambil cincin yang kau pesan," balas Wawan.
"Oke, terimakasih banyak, Wan. Kau memang sahabat baik ku."
Wawan pun mengangguk. "Udahan yah, aku mau telpon istri tercinta ku dulu."
Ade menekuk bibirnya, sebab iri dan kesal dengan tingkah sahabatnya - Wawan.
***
Hari ini aku cukup senang, bisa jalan berduaan dengan Ade. Entah mengapa aku bisa mood sebagus ini, seperti ada magis yang menarik jiwaku.Selama aku berjalan melewati koridor, aku melihat ibu-ibu yang melihat ku secara sinis, mengingat kembali ucapan Ade, aku hanya membalas dengan senyuman saja.
Sampai berjalan di depan kelas 11 D, selama kelas tadi ribut kini mendadak diam saat kehadiran ku.
"Selamat pagi menjelang siang, anak-anak. Perkenalkan nama Ibu Rinda Putri Ayu, atau bisa dipanggil dengan sebutan Bu Ririn. Ok, untuk pertama kali langsung absen aja yah," sapa ku.
"Pagi Bu," balas serentak, mereka mengangguk dengan menuruti perintah ku. Sepuluh menit berlalu setelah mengabsen, kini aku memanggil sekretaris untuk meminta tolong.
"Apakah di sini ada sekretaris?" tanya ku.
"Saya, Bu," balas Aska.
"Lah sekretaris nya cowok yah, ibu kira cewek. Nak, belajar seni budayanya sudah sampai mana?"
"Baru halaman sebelas Bu dan selesai menulis rangkuman kemarin. Iya Bu, soalnya tulisan ku paling bagus di antara yang lain, jadi disuruh sama walikelas."
"Oh begitu. Ya sudah ibu minta tolong kerjakan halaman 12--14, nanti buat soal 15."
"Baiklah, Bu."
Aska pun langsung mengambil buku cetak Seni budaya ku, lalu menulis di papan tulis. Selama aku memperhatikan Aska menulis, kini tulisan benar-benar cantik, baru kali ini ketemu anak cowok yang bisa menulis secantik itu.
To be continued.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pacarku Bujangan Tua [TAMAT]
Подростковая литература"Btw, Mas sudah punya anak berapa?" tanya ku "Anak? Nikah aja belum, kita nikah yuk." "Heh ... kita pacaran aja yah, mas." Seorang wanita yang lulus ASN PPPK sedang mengajar di SMK Harapan Bangsa, lalu ia tidak sengaja bertemu dengan Pria Bujangan T...