"Syukur kalau gitu, kita satu keyakinan, berarti Tuhan benar-benar mempertemukan kita."
***
Setelah menyantap bakso bersama-sama, tak lama bel sekolah berbunyi tiga kali mendapatkan waktu jam istirahat telah berakhir, lalu sambung jam mata pelajaran ketiga. Aku, Pak Wawan, Ade dan Sabar, pergi bersama-sama menuju kantor.Diriku seolah ditemani tiga bodyguard diperlihatkan oleh banyak anak dan guru-guru perempuan yang lain.
"Lihat guru baru itu, baru masuk sudah jadi dikerumuni oleh guru cowok, ditambah Pak Kepsek aja baru saja selesai menikah dengan Nak Aida minggu kemarin, juga ikutan," nyinyir guru perempuan.
Kemudian Ade memegang tangan ku, lalu Sabar menggenggam tangan kuat sebab kesal melihat tingkah Ade dan Rinda bergandeng tangan, sedangkan Wawan berjalan memimpin ke depan.
"Sudah Dek, kau nggak usah dengerin guru lain. Anggap saja kayak angin lalu, mas aja sering disindir, tapi mas tetap kuat menahan semua penderitaan ini," ucap Ade nan berusaha menenangkan ku.
Meskipun ia bujang tua, aku merasakan dukungan dari dirinya. Lama-kelamaan aku mulai nyaman dengan Ade.
"I-iya mas, Dedek juga nggak ngerasa sama sekali apa yang diucapkan orang lain, kan Dedek punya Tuhan nan bisa mendengarkan ku," balas ku.
"Emang senang kalau kuat menghadapi semua nya. Dek, mas boleh nanya soal keyakinan gak pa-pa kan?" tanya Ade.
"Iya mas, mau nanya apa?" heran ku.
"Agama mu apa?"
"Aku Katholik, mas."
"Syukur kalau gitu, kita satu keyakinan, berarti Tuhan benar-benar menjodohkan kita."
"Emang mas, agamanya apa?"
"Mas, Kristen Protestan."
Aku mengangguk dan tersenyum, sedangkan Sabar kini semakin panas dengan kedekatan kami berdua. Setelah sampai di kantor, aku duduk di kantor sebab tidak ada jam pelajaran di jam terakhir ini. Kemudian Ade kembali mengajar seni budaya kelas 10 C, sedangkan Sabar mengajar kelas 11 J.
"Fyuhh, aku nggak tahu kenapa nilai anak-anak muridku mendapat nilai yang hanya pas-pasan, sedangkan murid kelas 11 A, rata-rata dapat 100. Apa aku harus konsultasi aja yah sama Mas Ade? Lagi pun aku baru juga di sini, siapa tau ada pencerahan," ucap ku.
[Mas Ade?] panggil ku lewat pesan.
[Iya dek, ada apa?] tanya Ade.
[Nanti, kita pulang bareng yah mas, sekalian mau konsultasi soal murid-murid di sini,] pinta ku.
[Oh siap, dek.]
Empat puluh lima menit kemudian, tidak lama berbunyi tiga kali menandakan waktu jam ketiga telah berakhir, lalu mengganti jam pulang. Semua guru dan anak-anak lainnya pulang satu per satu. Kemudian Sabar datang setelah habis mengajar kelas 11 J, ia datang menghampiri ku.
"Rinda, kita pulang bareng yuk," ajak Sabar.
"Maaf, pak. Aku sudah janjian sama Mas Ade, mungkin besok pulang bareng nya," balas ku dengan menolak.
"Emm ... ya sudah kalau begitu, aku tunggu besok yah."
Sabar pun sedikit kecewa, lalu ia pulang cepat. Tak lama, Ade datang dengan membawa 30 buku murid dan buku cetak seni budaya.
"Hallo dek, maaf karena terlalu lama menunggu. Ini mas baru saja selesai ngajar. Ya sudah, kita pulang bareng yuk," ajak Ade.
"Hallo juga mas, ya sudah ayo. Adek sudah terbiasa menunggu lama di sini," balas ku.
Sebelum pulang, Wawan baru saja selesai menyantap makan siang, lalu bertemu dengan ku dan Ade.
"Lah, Pak Kepsek belum pulang toh?" heran ku.
"Belum, ini baru selesai makan siang buatan istri tercinta, ya sudah kita pulang bareng yuk," balas Wawan dengan mengajak.
"Maaf, Pak Kepsek. Aku sudah janjian tadi sama Mas Ade, bapak pulang duluan aja. Nanti kalau ketahuan istri bapak, yang ada bapak kena Auman nya."
"Hahaha ... kamu ini sebelas dua belas dengan istri saya. Ya sudah kalau begitu, aku izin pulang duluan yah. Ade, itu anak orang jangan diapa-apain, soalnya pendatang baru," balas Wawan, dengan mengalihkan obrolan pada Ade.
"Iya Pak Kepsek, aman kok," balas Ade.
Selepas keberangkatan Wawan, aku dan Ade bergegas pulang meninggalkan lingkungan sekolah SMK Harapan Bangsa.
"Pak Ketot, kamu duluan pulang yah," sapa Ade.
"Iya, pak, selamat berjuang dengan Bu guru barunya," balas Ketot.
"Siap."
Setelah keluar dari lingkungan SMK Harapan Bangsa, kini kami berdua telah sampai pertigaan.
"Emm ... Dek Ririn mau makan apa? Nanti mas bayarin," tanya Ade.
"Aku, mau makan sate ayam aja, mas. Lagi pengen aja," balas ku.
Ade pun mengangguk. Tidak lama kami berdua telah sampai di warung Sate Madura terkenal dan sering didatangi para papan publik.
"Pak, saya mau pesan sate ayam dua," pinta Ade.
"Satenya mau dibungkus atau makan di sini, pak?" tanya penjual.
"Makan sini aja, pak," balas Ade.
Aku dan Ade duduk di meja dengan bersebelahan. Kemudian aku membuka pembicaraan pada Ade.
"Mas, aku mau nanya soal murid nih. Ini anak-anak murid ku kok kurang semangat yah kalau lagi belajar, terus beda lagi sama anak kelas 11 A yang selalu bersemangat. Tolong kasih pencerahan dong mas, untukku. Mas juga pasti sudah lama ngajar di situ," ucap ku.
"Setiap anak pasti punya sifat yang berbeda-beda dek, kamu tahu nggak kenapa kelas di SMK Harapan Bangsa banyak sekali, sebab pembagian murid juga dipilih-pilih, kalau disatukan yang ada nggak bisa bakalan kalah terus," balas Ade.
"Aku nggak ngerti, mas. Aku kira kelas itu karena nggak cukup kursi, aku ngajar di SD sistemnya jauh beda dengan SMK Harapan Bangsa."
"Shuut, tolong dengerin mas lagi. Ibaratkan kamu beli beras mahal dan beras murah, nah terus kamu makan terus tuh beras mahal, lalu beras murah malah nganggur dan makan tikus lama-lama habis. Sama aja kita yang selalu peduli pada anak pintar, sedangkan anak tidak cukup pendidikan malah tidak berhasil sama sekali. Kita seorang guru harus ekstra sabar. Sekali lagi, istri Pak Kepsek dulu murid kelas 11J lho, selalu membuat ulah dah keributan, tapi seiring berjalan istri Pak Kepsek kini berhasil mendapatkan tiga besar, ini karena kesabaran seorang guru. Sudah kamu tidak usah khawatir, lagi pun hari ini adalah hari pertama mu mengajar, anak-anak pasti belum beradaptasi dengan mu. Kalau nilai mereka hancur, nanti yang salah bukan murid tapi guru nan berhasil mendidik. Sering-sering aja konsultasi sama mas."
"Iya mas, terimakasih banyak. Meskipun aku nggak memahami semua, tapi aku bisa bertanya lagi pada mas."
"Bagus kalau begitu sayang, kamu tidak sia-sia mendapati mas. Meskipun mas sudah bujangan begini, tapi mas tetap sabar buat dapatin kamu segala cara."
Aku mengangguk sambil tersenyum, tidak lama pramuniaga menyajikan sate ayam beserta lontong pada kami berdua, lalu kami makan lahap sampai kenyang.
To be continued.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pacarku Bujangan Tua [TAMAT]
Novela Juvenil"Btw, Mas sudah punya anak berapa?" tanya ku "Anak? Nikah aja belum, kita nikah yuk." "Heh ... kita pacaran aja yah, mas." Seorang wanita yang lulus ASN PPPK sedang mengajar di SMK Harapan Bangsa, lalu ia tidak sengaja bertemu dengan Pria Bujangan T...