2. Bom Waktu

316 48 19
                                    

Halo, sudah 16 tahun kita tidak  berjumpa. Sekarang usiaku sudah 30 Tahun, bertugas di Yonif 408, berpangkat Lettu dan merupakan seorang penembak jitu. Jika kalian bertanya apakah aku sudah menikah dan memiliki  seorang anak. Tentu saja belum. Aku masih bujang meskipun tak lama lagi mungkin naik pangkat. Apakah aku tidak pernah berpacaran lagi sejak patah hati kala itu? Aku pernah mencobanya saat menjadi taruna, tapi kejadiannya kembali berulang.  Sejujurnya sudah hampir 10 tahun aku tidak berpacaran.

Jangan pula berpikir laki-laki halo dek semacam aku tidak pernah diduakan. Yang namanya selingkuh itu tidak memandang jabatan atau bahkan masa depan, itu hanya soal kesenangan. Sendiri memang lebih baik, tak ada penghalang, juga tak harus khawatir tentang kesetiaan setiap malam. Itu kenapa ayah sering sakit karena aku. Bahkan sudah memilih banyak perempuan dan menunjukkan foto mereka padaku, sayang tak satupun kugubris.

Sampai pada 3 minggu yang lalu, kondisi ayah sudah semakin memburuk. Mbak Ayu juga mengatakan bahwa berat badannya terus turun. Lalu saat aku cuti dan menunggu ayah selama 3 hari berturut-turut, ayah mengatakan, "Ayah ini sudah tidak sanggup lagi hidup dengan bantuan obat-obaan. Ayah pengen mati aja, tapi gimana bisa ayah ini mati kalau kamu belum menikah. Apa sebenarnya yang kamu mau?"

Aku benar-benar terpukul dengan perkataan ayah, tapi aku tidak suka suasana yang terlalu gelap. "Kalau begitu aku tidak akan menikah, gimana bisa? Nanti kalau aku nikah ayah meninggal lagi," candaku membuat ayah melempat pelototan matanya ke arahku.

"Kalau saja ayah ini bisa mengangkat tangan ayah dengan baik, ayah sudah mengambil senapan di barak lalu menembak kepalamu!"

Aku terkekeh. "Nggak boleh gitu, Yah. Nanti kena pasal pembunuhan, aku juga yang harus cari pengacara, kan?"

Tatapan mata ayah semakin marah, seperti akan mengumpat dalam berbagai bahasa. Aku hanya bercanda tapi candaanku memang kurang baik untuk pembicaraan yang serius.

Agaknya aku memang harus menyerah sekarang. Toh aku memang harus menikah, aku juga pasti akan bosan bila hidup sendirian selamanya. Tapi aku tidak punya siapapun untuk dipilih. Rekan sesama Akmil? Banyak tapi mereka sudah menikah, ada yang belum menikah tapi sudah bertunangan.

Menarik napas panjang. Toh aku sudah memikirkan ini berbulan-bulan, aku hanya tidak yakin saja. Akan kuserahkan semuanya pada ayah dan Mbak Ayu, pilihan mereka pasti tidak salah. "Kalau gitu, ayah pilih aja. Ayah pasti punya pertimbangan kan? Pendidikannya harus bagaimana, caranya berpikir harus bagaimana, pempilannya harus bagaimana, agamanya juga. Kuserahkan semuanya pada Baginda Raja." Akhirnya kukatakan dengan yakin.

Melirikku dengan tidak yakin.

"Kali ini aku nggak nolak, Yah. Aku janji. Ah, tapi kalau tidak sesuai boleh tukar tambah nggak?" celotehku.

Ayah memegang kepalanya. "Dulu waktu ibu hamil kamu sebenarnya ngidam apa?"

"Mana kutahu, kan ayah yang nemenin, hehe."

Di sela candaanku itu lah seorang gadis bertubuh kurus datang bersama Mbak Ayu. Usianya mungkin 20an, terlihat dari almamater kuliah di tangannya juga baju hitam putih yang ia kenakan. "Om," sapanya dengan lembut sebelum menjabat tangan ayah.

"Ah, sudah datang? Bagaimana penelitiannya?" tanya ayah terlihat sumringah sembari berkedip padaku.

Jangan bilang? Wah, tidak mungkin kan ayah akan menjodohkanku dengan mahasiswi?

Menatap ayah tak percaya.

"Ini lho, Cika, yang Om bilang kemarin. Anak Om, ah, yang waktu kamu masih kecil Om titipin sama dia, yang main masakan sama kamu, yang pas pak presiden datang  itu," jelas ayah penuh semangat.

Neverland 408Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang